CERPEN CAPTWAPRI-Suatu ketika seorang lelaki ditanya,”Manakah yang kau pilih, buku atau perempuan?”, dengan lantang dia menjawab,”Aku memuja perempuan yang membaca buku”.
Sejak itu ia menjelajah berbagai tempat untuk mencari perempuan yang menyukai buku.Singgah dari satu kota ke kota lain yang dianggapnya berperadaban, modern, dan terlihat retro. Tak hanya perempuan yang menyukai buku tetapi menurutnya secara visual ia bisa memanjakan pandangan matanya. Kalau bisa, lebih dari sekadar menyukai buku, memesona, ia juga harus mudah terhubung dengan hatinya.
Di suatu kota ia memilih mampir di sebuah toko buku besar yang ada di Mall. Tetapi yang ia lihat hanya hilir mudik penjaga toko yang menata dan membersihkan rak-rak. Sekelompok anak muda yang nongkrong di depan toko itu lebih banyak bercanda sambil tangannya memegang ponsel. Ada juga yang menyendiri tetapi juga menekuni ponselnya.
Kemudian lelaki itu keluar dari toko buku menuju sebuah kafe. Ia memesan secangkir kopi, dua risoles, dan sebotol air mineral. Lalu lelaki itu membaca sebuah buku, sembari sesekali pandangan matanya mengedar, berharap bertemu dengan seorang perempuan yang juga sedang membaca buku.
Akan tetapi justru pandangannya terjerembab pada bibir yang berpoles lipstik berwarna oranye. Seharusnya warna itu tidak menarik perhatiannya karena begitu pucatnya, tetapi, matanya berhenti dan dijebak oleh pesona bibir yang sedang bergerak-gerak seperti sedang mengeja berbaris-baris aksara. Ia terpana dan membiarkan dirinya merasa takjub.
Perempuan itu, rambutnya tidak begitu rapi, hitam legam terurai, dan menutupi sebagian wajahnya. Memakai kaos putih dan rok hitam bercorak bunga-bunga kecil. Dengan santai menduduki tahtanya tanpa peduli ada yang sedang terjerat oleh keindahannya. Lelaki itu tidak kuasa berdiam diri. Ia beranjak mendekatinya. Menyapa dan memohon izin duduk berhadapan satu meja dengannya. Perempuan itu memberi isyarat dan mempersilakan lelaki itu berbincang, lalu ditutupnya buku yang sedang dibaca.
Setelah saling menyebut nama, sekadar basa-basi, dan membicarakan buku-buku, mereka saling berbincang lebih mendalam.
“Menurutku, seringkali perempuan tidak menyadari bahwa apapun yang ada pada dirinya selalu menarik untuk dibicarakan lelaki”, katanya dengan sorot mata yang tak lepas dari bibir yang berpoles lipstik berwarna oranye, yang menurutnya lebih menarik dari buku yang tadi dibacanya.
Perempuan itu tersenyum cukup lebar sehingga tersingkap baris giginya yang rapi berkilauan.
“Aku merasa tidak ada yang menarik dari diriku. Tidak ada satupun lelaki yang mendekatiku sampai saat ini. Mungkin karena aku lebih tertarik pada buku-buku daripada seorang lelaki”. Bibir mungil berwarna oranye pucat itu terbuka sedikit, tepian gelas berisi teh strawberi itu berada di antara bibir atas dan bibir bawahnya.
“Perempuan adalah anugerah yang dipersembahkan semesta untuk jiwa-jiwa lelaki yang kuat saja, menurutku begitu, dan sebagaimana yang kukatakan tadi, seringkali perempuan tidak menyadari bahwa apapun yang ada dirinya selalu menarik diperbincangkan lelaki, termasuk dirimu”.
Perempuan itu tersenyum tipis, kecut.
“Jika memang hanya lelaki dengan jiwa yang kuat saja yang bisa menerima anugerah hadirnya perempuan, mengapa lelaki merasa hebat ketika berhasil mempermainkan dan menyakiti hati perempuan? Hal itu banyak kusaksikan. Seharusnya lelaki juga perlu tahu bahwa perempuan berkuasa untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk cintanya”.
Lelaki itu masih enggan beranjak dari bibir mungil berwarna oranye yang bergerak-gerak melesatkan kalimat-kalimat yang justru memaksimalkan kekagumannya. Dan ditelaahnya wajah itu pelan-pelan untuk menangkap keresahan yang begitu kuat dari perempuan itu.
“Seharusnya kau tidak perlu sering-sering membaca buku. Apalagi untuk memperbesar alter ego yang semakin memenuhi kepalamu. Bisa saja kau tertarik padaku. Serendipity yang terjadi pada kita saat ini adalah jalan nyata bahwa kebodohan bisa menjadi cara lahirnya cinta. Jadi, aku juga dirimu sesekali tidak perlu membaca buku-buku”.
Kemudian lelaki dan perempuan itu diam saling menatap, sementara jemari mereka bertaut sangat erat.
Kota Mojokerto, 25 Agustus 2022
01.52
*) Fataty Maulidiyah lahir dan besar di kota Mojokerto . Menulis esai adalah cinta pertamanya, sedangkan menulis cerpen adalah cinta sejatinya. Karyanya tersebar di berbagai media online. Sejak 2001 sampai sekarang masih mengajar di MAN 2 Mojokerto.
Tinggalkan Balasan