Bukanlah kesuksesan yang membuat kita bahagia, namun rasa bahagialah yang akan mengantar kita meraih kesuksesan – Bob Dylan
“Apa sih pak, hal paling pokok yang bisa membuat kita terus menerus bahagia, sehingga kita bisa menarik kebahagiaan-kebahagiaan hebat lainnya?” Demikian tanya seorang sahabat via WA tadi pagi. Mungkin ini pertanyaan biasa saja, pertanyaan umum yang bisa dijawab dengan kata-kata sederhana, misalnya, “Syukuri saja setiap karunia yang kamu dapatkan!”
Namun jujur, pertanyaan tersebut sempat membuat saya berpikir keras, sehingga tak langsung dapat saya jawab. Sambil menyuapi bayi musang yang baru saja saya adopsi, pikiran dan perasaan saya melanglang pada keadaan saya beberapa tahun yang lalu. Sekadar bertanya pada diri sendiri, “Apa yang paling berat dan sulit untuk saya merasa bahagia saat itu?”
Jawaban dari pertanyaan itu menjadi penting, setidaknya dapat pula membantu menjawab pertanyaan sahabat saya tersebut di atas.
Segera saya menyeleksi beberapa persoalan tentang bagaimana dulu saya merasa sulit untuk dapat merasa bahagia. Tentu saja saya menemukan banyak hal, misalnya, saya menginginkan hidup berjalan seperti apa yang saya inginkan, selalu menghendaki orang-orang di sekitar saya, mestinya bersikap seperti yang saya mau, pun saya terlalu berharap orang lain juga mau berpikir seperti cara saya berpikir.
Saat itu, saya adalah orang yang kurang pandai bersyukur dan menganggap semua yang terjadi pada diri saya adalah keadaan yang pantas untuk dikeluhkan. Akibatnya, semakin hari saya semakin sulit merasakan bahagia. Sebenarnya saya sadar, sikap dan persepsi saya terhadap sesuatu yang terjadi di hidup saya sangat berpengaruh besar bagaimana saya bisa merasa bahagia atau tidak, namun saya juga harus mengakui, bahwa saya sulit untuk bisa merasa bahagia, karena saya memiliki aturan mental kebahagiaan yang menghambat tercapainya kebahagiaan itu sendiri.
Beberapa di antara kita sering mendengar, bahkan memiliki aturan mental tersebut, yang celakanya justeru sering menjadi penghambat kebahagiaan kita. Coba perhatikan aturan-aturan mental yang sering diucapkan oleh teman-teman atau orang-orang di sekitar kita, misalnya, saya akan bahagia, jika orang tua saya bahagia, saya akan bahagia, jika bisa memberangkatkan orang tua saya ke tanah suci, jika anak-anak saya dapat sekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau ke luar negeri, jika pasangan saya tersenyum, jika usaha saya sudah memiliki 5 cabang.
Kita yang sedang belajar menulis, mungkin akan mengatakan, saya akan bahagia, jika tulisan saya dimuat di surat kabar terkenal dan dibaca banyak orang atau saya akan bahagia, jika buku saya diterbitkan oleh penerbit ternama dan menjadi best seller.
Dan masih ada banyak contoh lain aturan mental kebahagiaan saya dan juga kebanyakan orang, padahal aturan mental itu justeru menghalangi kita untuk dapat bahagia secara konsisten di setiap saat. Keinginan-keinginan kita itu tidak salah, semua baik dan bisa menjadi motivasi kita untuk lebih giat guna mencapainya. Namun sadarkah kita, aturan mental tersebut di atas juga dapat membuat kita sulit untuk meraih apa yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Coba renungkan, apa kiranya yang bakal terjadi seandainya keinginan-keinginan tersebut tidak bisa terwujud?
Ya, betul! Maka kalimat ‘saya akan bahagia’ itu tidak pernah akan menjadi nyata pula.
Selain memiliki aturan mental yang menghambat tercapainya kebahagiaan, saya juga ternyata sangat sulit menikmati rasa bahagia, akibat terlalu banyak menyimpan keinginan yang ingin saya raih. Padahal sekian banyak nikmat yang sudah Tuhan berikan, belum sempat saya syukuri dengan sebenar-benarnya syukur. Dan yang lebih menyedihkan, saya ternyata sulit untuk dapat ikut berbahagia atas kebahagiaan yang orang lain rasakan. Selalu saja tumbuh rasa iri, walaupun sedikit, kenapa hal itu tidak terjadi pada diri saya? Kenapa dia yang menang? Kenapa mereka yang lulus? Kenapa dan kenapa, demikian pikiran dan perasaan saya sering bertanya pada saat itu.
Eureka, demikian bathin saya berteriak, saya segera meraih HP dan mengetikkan beberapa baris kalimat untuk membalas WA dari sahabat saya itu.
“Cobalah untuk belajar dan berusaha bahagia ketika orang lain tengah berbahagia. Bahagialah dengan tulus, dalam dan lurus. Seperti kamu merasa bahagia ketika kamu sendiri mendapatkan sesuatu yang membahagiakan. Bahkan ketika kebahagiaan itu dirasakan oleh orang yang tidak kamu suka sekalipun. Lalu bersyukurlah. Saya yakin, kamu akan mudah untuk terus bahagia.” Demikian balasan saya atas pertanyaan sahabat saya di atas.
“O iya, jangan lupa untuk membuat aturan mental bahagia yang sederhana dan tidak menjadi beban bagi perasaan dan pikiran. Misalnya, saya bahagia jika esok pagi saya masih bisa menghirup oksigen, masih bisa mandi, masih bisa sarapan, dan hal-hal kecil lainnya.”
Sesaat setelah membalas WA sahabat saya itu, sayapun langsung memasuki kondisi ikut bahagia, untuk seseorang yang hari ini tengah bahagia, walaupun beberapa waktu yang lalu, ia telah melukai perasaan saya, lalu saya berdoa untuknya, ”tetapkanlah ia dalam kebahagiaanMu, Yaa Allah, dan ijinkan pula ia untuk tidak menyukai hamba. Karena mungkin itu adalah kebahagiaanya pula.”
Kebahagiaan hakiki adalah ketika kehadiran dan karya kita dapat mempersembahkan manfaat bagi orang lain. Itulah energi terbaik yang dapat menarik energi kebahagiaan lainnya. Jadi perbaiki saja diri sendiri untuk menebarkan energi bahagia, lalu bersyukurlah atas apapun yang sudah pernah kita terima, lihat selalu sisi baik dari setiap persoalan yang pernah mendera, dan sambutlah keberhasilan yang akan kita raih setelahnya dengan suka cita. Mau sukses? Ya, mulailah dulu segala sesuatu dengan perasaan bahagia, demikian kata Bob Dylan, musisi country balada legendaris yang juga sastrawan dan pernah meraih Penghargaan Nobel Sastra tahun 2016.
***
Serang, 26 Agustus 2022
2 Comments