Langit masih menyisakan warna keabuan ketika Kapten Raka menaiki tangga kapal berbobot puluhan ribu ton yang hendak memasuki Pelabuhan Balikpapan. Sebagai pandu berpengalaman, ia telah memandu ratusan kapal melintasi alur-alur sempit yang penuh tantangan. Namun setiap langkahnya ke atas kapal selalu mengawali dengan sikap hormat dan kerendahan hati.
“Selamat pagi, Kapten. Saya Pandu Raka. Saya hadir di bawah komando Anda, dan akan memberikan saran terbaik.”
Bagi Kapten Raka, kalimat itu lebih dari sekadar tata krama. Itulah prinsip yang menjadi fondasi tugasnya: “Di bawah komando nakhoda, dan dengan nasihat dari pandu.”
Artinya jelas, pandu bukan pemegang kendali utama. Tugasnya adalah menjadi penasihat terpercaya, menghadirkan pemahaman lokal, membaca dinamika pelabuhan, dan mengarahkan dengan bijak tanpa mengambil alih.
Setiap kali memandu, ia selalu ingat bahwa pengetahuan harus berjalan seiring dengan penghormatan terhadap struktur komando. Ia tahu, dalam satu kapal hanya ada satu pemimpin. Dan pandu, seberpengalaman apa pun, harus tetap menjaga garis itu dengan integritas.
Dalam satu kesempatan, cuaca buruk datang tiba-tiba saat kapal hendak masuk alur. Nakhoda asing tampak bimbang. Tanpa mendominasi, Kapten Raka menyampaikan pertimbangannya dengan tenang, menggambarkan pilihan manuver yang lebih aman. Sang nakhoda akhirnya mengikuti arahannya.
Ketika kapal berhasil merapat dengan selamat, sang nakhoda menjabat tangannya dan berkata, “Kau tak mengambil alih, tapi kau membimbingku untuk memilih dengan benar.”
Itulah esensi seorang pandu sejati. Ia bukan pemimpin di atas kapal, tetapi pelita di jalur pelayaran. Selama memegang prinsip dengan teguh, keselamatan akan tetap terjaga. Dan laut akan selalu menjadi jalur yang menghubungkan bukan hanya antar pelabuhan, tapi juga antar bangsa dan harapan.
Usai kejadian itu, Kapten Raka kembali ke kantor pandu dengan langkah mantap. Ia menuliskan catatan pemanduan hari itu, bukan untuk mencari tepuk tangan, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional. Setiap pengalaman di laut, sekecil apa pun, adalah pelajaran berharga. Terutama bagi para pandu muda yang mulai mengisi dunia maritim dengan semangat dan idealisme baru.
“Jangan pernah merasa lebih tinggi dari nakhoda,” ucapnya berkali-kali saat memberi pelatihan. “Tugas kita bukan untuk mengambil alih, tapi untuk memastikan kapal sampai dengan aman.”
Waktu telah mengajarinya bahwa kesombongan bisa jadi ancaman paling berbahaya di laut. Tak jarang ia menghadapi nakhoda yang sulit diajak komunikasi, atau kurang memahami karakter alur setempat. Namun Kapten Raka tak pernah goyah dari prinsipnya. Ia tetap rendah hati, memberi saran yang jelas dan logis, serta menjaga komunikasi yang terbuka dan saling menghormati. Hubungan pandu dan nakhoda bukan tentang siapa yang lebih tinggi, melainkan tentang kepercayaan dua profesional yang berbagi tanggung jawab keselamatan.
Ia teringat satu peristiwa beberapa tahun lalu. Sebuah kapal asing mendesak masuk ke alur sebelum pasang naik karena tekanan waktu operasional. Kapten Raka menolak menyetujui langkah itu. Dengan tenang, ia memaparkan risikonya, arus silang, dasar dangkal, kemungkinan kandas. Meski sempat terjadi ketegangan, akhirnya sang nakhoda setuju untuk menunggu. Keesokan harinya, kapal masuk dengan selamat. Dalam laporan pelayaran, sang nakhoda menuliskan, “Nasihat sang pandu menyelamatkan kami.”
Bagi Kapten Raka, peristiwa itu menjadi pengingat bahwa konsistensi terhadap prinsip membangun rasa hormat. Bukan pertentangan, apalagi konflik.
Dalam setiap tugasnya, ia selalu menyeimbangkan dua hal penting, kewenangan nakhoda dan keahlian pandu. Jika salah satu terlalu mendominasi, maka keseimbangan terganggu dan keselamatan kapal bisa dipertaruhkan. Tapi bila keduanya berjalan beriringan, kapal menjadi ruang kolaborasi, bukan medan adu kekuasaan.
Di negeri kepulauan seperti Indonesia, jalur pelayaran tak hanya padat tapi juga kompleks. Di situlah peran pandu menjadi tak tergantikan. Mereka tak hanya mencegah kerusakan lingkungan dan kecelakaan laut, tetapi juga menjaga nama baik pelabuhan sebagai simpul logistik dunia. Di balik setiap kapal yang bersandar dengan mulus, ada peran pandu yang bekerja dalam keheningan.
Kini, menjelang masa purna tugas, Kapten Raka lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kelas. Ia sadar, pengalaman bisa pudar jika tak diwariskan. Nilai-nilai yang ia pegang tak boleh hilang di tengah arus zaman.
“Setiap kali kalian berkata ‘Under your command, with my advice’, kalian membawa amanah negara, bukan hanya profesi.” Ucapnya suatu hari pada peserta pelatihan.
Baginya, prinsip itu adalah warisan kehormatan maritim, yang tak sekadar menunjukkan arah, tapi juga menjaga martabat pelayaran.
Selama masih ada pandu yang menjunjung tinggi kebijaksanaan dan keikhlasan dalam bertugas, laut Indonesia akan selalu memiliki penjaga. Penjaga yang tahu kapan memberi arahan, dan kapan memberi ruang bagi sang nakhoda untuk memimpin.
Karena sesungguhnya, menjadi pandu bukan soal mengendalikan kapal, tapi tentang menjadi cahaya dalam kabut dan gelombang.
Tinggalkan Balasan