Kenaikan BBM dan Pertumbuhan Kohesi Sosial

Sebulan lalu, seorang mantan ojol, panggillah Pak Kasdi, menumpang saya untuk diantar pulang ke rumahnya. Meski lumayan jauh, tapi karena searah saya pun tidak terlalu mempedulikannya. Sesampai di depan rumahnya, saya dipersilakan mampir untuk ngopi sejenak. Seraya mengobrol, kelegaan terpancar dari wajah Pak Kasdi setelah berhasil menjual sepeda motor kesayangannya.

Pak Kasdi memang harus kehilangan sepeda motor satu-satunya setelah mendengar rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Terpenting baginya, ia dapat terbebas dari beban biaya BBM, karena selama ini hasil ojol-nya seringkali tidak cukup untuk beli BBM. Pak Kasdi tetap bersyukur, ia masih bisa kerja serabutan dengan mendompleng teman-temannya tanpa harus kehilangan ongkos BBM.

Pak Kasdi masih merasa mampu bayar ongkos nebeng dari hasil kerja serabutan. Sebelum saya pamit, dia berusaha memasukkan beberapa lembar uang ke saku jaket saya, meski saya berhasil menolaknya. Dalam perjalanan pulang, saya membayangkan jangan-jangan ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan masyarakat kita yang bernasib seperti Pak Kasdi.

Dalam keluarga saya sendiri, tradisi nebeng-menebeng sudah berlangsung sejak dulu. Kedua orangtua saya seorang guru, kebetulan ibu tidak bisa mengendarai motor sendiri, setiap mereka berangkat mengajar ibu pasti menebeng ayah. Kerjasama baik antara bapak mertua yang tentara dengan ibu yang pedagang turut menguatkan tradisi nebeng-menebeng, bapak harus berangkat lebih awal karena harus mengantar ibu ke pasar.

Kebiasaan diatas, rupanya menurun pada keluarga kecil kami, dari keempat anggota cukup dengan satu sepeda motor sehingga harus bergantian memakainya. Anak terkecil yang paling merdeka, meskipun bisa naik motor tetap saja kemanapun minta diantar salah satu dari kami bertiga. Rasanya tradisi seperti ini patut diteruskan bukan semata-mata hemat BBM, tapi saling bersama dapat memberi kenyamanan satu dengan lainnya.

Sama di keluarga, sama juga di tempak kerja saya. Saat itu, kami berlima masing-masing memiliki mobil, hari senin mobil saya, selasa mobil si B, C, D dst hingga senin depannya kembali dengan mobil saya. Biaya Tol, BBM ditanggung bersama dan dibayarkan di akhir pekan ke bendahara yang ditunjuk, kemudian didistribusikan di awal minggu berikutnya, begitu seterusnya dan seterusnya.

Menebeng, atau sebagian yang lain menyebut “mengompreng” saudara, teman yang searah dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tentunya, hal ini dapat menekan pemakaian BBM, kemacetan, dan juga polusi udara. Cerita nebeng-menebeng diantara anggota keluarga serta teman sekantor diatas, bukti adanya tarik-menarik sosial kekeluargaan dan pertemanan dalam berbagi biaya transportasi. Beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, omprengan pulang pergi berperan sebagai pendukung komuter karena keterbatasan angkutan umum.

Fenomena kota-kota besar tersebut, dibenarkan sebuah data bahwa satu simpul omprengan dalam waktu lima belas menit dapat mengangkut delapan puluh penumpang oleh sepuluh kendaraan. Jika, pinggiran kota menyiapkan empat titik simpul, maka komuter tersebut dapat mengangkut penumpang diatas seribu duaratusan penumpang. Sayangnya, keberadaan omprengan tersebut masih dianggap liar, sehingga kedepannya perlu dipikirkan aspek legalitasnya. Terbayangkan? Berapa distribusi BBM dapat dikurangi.

Salah satu kegiatan yang sedang mentradisi di lingkungan karyawan adalah bike to work. Dalam upaya membudayakan kebiasaan ini, di beberapa tempat dilombakan yang diikuti seluruh karyawan, bahkan melibatkan dari luar instansi. Event pemanfaatan sepeda atau gowes untuk sarana transportasi rumah ke kantor dan sebaliknya, apalagi dilakukan secara terus-menerus, maka selain menghemat penggunaan BBM, selebihnya kesehatan tubuh kita terjaga. Hanya dalam kondisi tertentu, seperti kecepatan serta keterbatasan waktu, penggunaan kendaraan berbasis BBM menjadi sebuah keniscayaan, namun jika kondisi ini tidak rutin secara agregat tetap dapat menghemat bensin.

Kota pinggiran Surabaya seperti Sidoarjo atau Probolinggo belum terlalu membudaya jasa omprengan atau tebengan, karena selain lalu lintas belum padat sehingga jarak tempuh satu lokasi ke lokasi lainnya terasa pendek. Selain nebeng-menebeng secara mandiri, aktifitas bersepeda bisa menjadi alternatif transportasi bebas BBM. Sangat mungkin kegiatan seperti ini bisa diarahkan secara komersial dengan memanfaatkan perkembangan teknologi permediasosialan. Karena, banyak pelanggan memanfaatkan media sosial untuk saling berkoordinasi dalam mencari tebengan seperti di twitter atau facebook.

Selain di medsos, beberapa aplikasi nebeng-menebeng lainnya pun dapat diakses dengan mudah dari platform-platform yang ada. Kenaikan harga BBM dengan segudang alasan dibaliknya, tentunya bisa menjadi momen bagi kita untuk melakukan refleksi sekaligus mencari kesempatan agar tidak selalu bergantung pada bahan bakar minyak. Meskipun, hal ini membutuhkan perubahan paradigma berfikir di masyarakat selain dukungan regulasi dari pemerintah.

Dukungan pemerintah juga dibutuhkan dalam pengadaan kendaraan listrik bagi masyarakat serta sarana prasarana lainnya. Menurut penelitian, bahwa mobil atau motor bertenaga listrik dapat menghemat empat kali penggunaan bahan bakar minyak dibanding kendaraan berbahan bakar minyak, sehingga faktor keterjangkauan harga kepada masyarakat secara luas juga perlu mendapat perhatian bersama. Penggunaan mobil listrik untuk kegiatan operasional sehari-hari selain untuk mengurangi tingkat polusi, tetapi juga dapat menekan biaya yang harus dikeluarkan tiap harinya untuk operasional kendaraan, satu diantaranya adalah biaya bahan bakar minyak.