Sinergi Literasi, Teknologi, dan Nilai Keagamaan dalam Membentuk Remaja Madrasah berkarakter

 

Oleh : Mohammad Aqil Dzakwan Khoironi

Siswa MTsN 1 Sidoarjo

Di tengah derasnya arus digitalisasi, dunia pendidikan menghadapi tantangan besar: bagaimana membentuk peserta didik yang bukan hanya cakap teknologi, tetapi juga memiliki kecerdasan moral dan spiritual. Teknologi telah mengubah cara berpikir, berkomunikasi, bahkan beriman. Siswa kini lebih banyak bersentuhan dengan layar ketimbang buku, lebih sering berdiskusi di ruang maya ketimbang tatap muka. Karena itu, sekolah dan madrasah perlu menjawab tantangan zaman dengan pendekatan yang inovatif dan humanis.

Salah satu gerakan yang lahir dari semangat itu adalah MAHESACA (Madrasah Hebat Sadar Literasi dan Cinta Agama). Program yang diterapkan di MTsN 1 Sidoarjo ini ini bukan sekadar kegiatan tambahan, melainkan ruang pembelajaran kreatif yang memadukan literasi digital, kecerdasan emosional, dan nilai-nilai keagamaan dalam satu wadah yang menyenangkan. Melalui MAHESACA, madrasah ingin memastikan bahwa peserta didik tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penyaring makna dan pencipta konten yang membawa nilai.

MAHESACA ibarat laboratorium mini kehidupan. Di dalamnya, siswa dilatih menulis refleksi, membuat konten positif, serta berdiskusi tentang isu-isu sosial keagamaan dari sudut pandang moderat. Mereka tidak hanya mengasah kemampuan berpikir kritis, tetapi juga belajar menyampaikan gagasan dengan etika dan empati. Kegiatan vlog religi, lomba karya tulis populer, hingga pembuatan jurnal digital madrasah menjadi sarana nyata menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab moral di ruang maya.

“Anak-anak bukan lagi sekadar penonton di dunia digital. Mereka harus bisa menjadi pelaku perubahan yang membawa nilai kebaikan,” ujar salah satu guru pembina MAHESACA dalam sebuah sesi pelatihan literasi. Pandangan ini menggambarkan semangat di balik program tersebut: menumbuhkan keberanian sekaligus kebijaksanaan digital di kalangan remaja madrasah.

Guru memiliki peran penting sebagai mentor. Mereka menuntun siswa menavigasi dunia digital dengan panduan nilai-nilai agama. Pendekatan yang bersifat personal dan reflektif ini menciptakan ruang aman bagi remaja untuk mengekspresikan diri, mengelola emosi, dan memperdalam spiritualitas. Banyak siswa yang semula pendiam mulai berani menulis opini, menginisiasi kegiatan literasi, hingga membuat konten edukatif yang menyejukkan dan menumbuhkan semangat kebersamaan.

Kegiatan MAHESACA juga menjadi wadah untuk mempraktikkan nilai gotong royong. Dalam proses membuat konten, siswa belajar bekerja sama, menghargai perbedaan pendapat, dan menyatukan ide demi hasil yang lebih baik. Madrasah pun menjadi ruang yang tidak kaku, melainkan tempat di mana kreativitas dan nilai-nilai keislaman tumbuh berdampingan.

Urgensi gerakan seperti MAHESACA di MTsN 1 Sidoarjo ini  semakin terasa ketika dikaitkan dengan hasil riset Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS, 2022). Laporan itu menemukan bahwa sekitar 34,9% remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir, tetapi hanya 2,6% yang sempat mengakses layanan profesional. Data tersebut menggambarkan betapa besar kebutuhan remaja akan ruang ekspresi positif dan pendampingan sosial yang dekat dengan keseharian mereka.

Dalam konteks inilah, MAHESACA mengambil peran signifikan. Ia menjadi jembatan antara dunia digital dan dunia nilai. Melalui literasi, siswa diajak merenungkan makna dari setiap aktivitas daring. Melalui pendampingan spiritual, mereka diajak menumbuhkan kesadaran diri dan rasa syukur. Keduanya berpadu membentuk remaja yang tangguh menghadapi tekanan sosial maupun akademik.

MAHESACA bukan hanya program kegiatan, tetapi representasi dari wajah baru madrasah yang dinamis. Ia menunjukkan bahwa lembaga pendidikan berbasis agama dapat menjadi pelopor perubahan di era teknologi, bukan sekadar pengikut arus. Madrasah tidak tertinggal zaman; justru berada di garda depan transformasi karakter, membangun generasi yang berpikir kritis sekaligus berhati lembut.

Dengan MAHESACA, madrasah membuktikan bahwa literasi bukan sekadar soal membaca dan menulis. Literasi adalah cara memahami kehidupan, menumbuhkan empati, dan menghadirkan kebijaksanaan di tengah hiruk pikuk dunia digital. Di tangan para pendidik kreatif, madrasah tumbuh menjadi taman harmoni tempat akal, iman, dan rasa berjumpa — melahirkan generasi muda yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berjiwa damai.***

Editor: Fataty