“Lebih mudah cari lapangan padel daripada lapangan pekerjaan.”
Sejenak terkesan lucu kalimat di atas, namun bila kita cermati lebih mendalam, sesungguhnya menohok. Di tengah derasnya pembangunan lapangan olahraga mewah, masyarakat justru kesulitan mencari “lapangan” yang sesungguhnya, yaitu lapangan pekerjaan. Sarkasme yang ramai di media sosial itu menggambarkan potret ekonomi kita hari ini, penuh kesibukan fisik, namun minim produktivitas nyata.
Lapangan Padel dan Lapangan Pekerjaan
Beberapa tahun terakhir, olahraga padel, perpaduan antara tenis dan squash, menjadi tren di kota-kota besar Indonesia. Dari Jakarta, Surabaya, hingga Denpasar, padel muncul sebagai simbol gaya hidup baru kelas menengah atas. Lahan-lahan kosong di perkotaan beralih fungsi menjadi lapangan padel yang estetik dan instagramable.
Fenomena ini tidak salah. Olahraga apapun selalu membawa semangat positif. Namun, di balik euforia tersebut, muncul kontras sosial yang tajam. Banyak kaum muda justru terpinggirkan dari lapangan pekerjaan, sementara “lapangan padel” terus bertambah. Rasanya seperti hidup di negara yang lebih mudah membangun gaya hidup daripada menghidupkan ekonomi rakyat.
Ironi ini menjadi lebih terasa ketika di tengah semangat olahraga, berita tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus muncul. Dari industri manufaktur, ritel, teknologi, hingga perbankan, perusahaan-perusahaan besar terus merampingkan tenaga kerja. Mereka membalutnya “efisiensi.” Bagi buruh, itu berarti kehilangan mata pencaharian.
Satu Tahun Pemerintahan Baru: Harapan dan Kenyataan
Memasuki tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, publik tentu berharap ada energi baru untuk menstimulasi ekonomi rakyat. Namun, justru yang terasa adalah kehati-hatian berlebihan di tengah kondisi fiskal yang ketat.
Pemerintah memang menegaskan komitmennya terhadap pertumbuhan ekonomi 8% dan penciptaan 19 juta lapangan kerja dalam lima tahun. Tetapi sejauh ini, arah menuju target itu masih kabur. Yang tampak di permukaan adalah kebiasaan lama. Yaitu, menggeber APBN di akhir tahun, bukan berdasarkan perencanaan matang, melainkan karena tekanan serapan anggaran.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menyatakan optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal IV bisa mendekati 6%. Klaim mendasarkan pada strategi belanja produktif, serta hasil penyisiran anggaran dari program yang kurang efisien. Namun, dalam praktiknya, penyisiran itu sering menimbulkan gesekan antar kementerian dan lembaga.
Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp70 triliun, misalnya, menjadi korban realokasi. Padahal, di tengah meningkatnya pengangguran dan melemahnya daya beli, program berbasis kebutuhan dasar semestinya bertahan melalui perbaikan implementasi, bukan pemotongan.
Kebiasaan Lama, Hasil yang Sama
Masalah mendasar ekonomi Indonesia bukan semata kurangnya uang, tetapi tidak tepatnya arah belanja. Anggaran sering kali terserap di proyek infrastruktur jangka pendek tanpa daya ungkit terhadap penciptaan lapangan kerja. Sementara sektor-sektor padat karya seperti pertanian, perikanan, industri kecil, dan maritim justru terpinggirkan dari perhatian utama.
Kita terus berorientasi pada pembangunan fisik yang kasat mata (gedung, jalan, dan jembatan), yang tampak dan mudah melaporkannya. Padahal, yang paling rakyat butuhkan justru pembangunan yang menghidupi. Contohnya, pelatihan kerja, pendampingan wirausaha, serta dukungan bagi industri kreatif dan ekonomi biru.
Pemerintah kerap membanggakan penurunan tingkat pengangguran terbuka, tetapi lupa melihat sisi lain. Rakyat bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan sosial dan upah layak. Di atas kertas mereka “bekerja”, namun dalam kenyataan mereka “bertahan hidup”.
Padel dan Paradoks Gaya Hidup
Padel lalu menjadi simbol dari paradoks ekonomi kita. Di satu sisi, ia menggambarkan meningkatnya kelas menengah dengan daya beli tinggi. Namun di sisi lain, ia juga memperlihatkan ketimpangan sosial yang makin lebar.
Bagi sebagian orang, bermain padel menjadi simbol kemapanan, bahkan ajang networking. Tapi bagi jutaan pengangguran, lapangan padel hanyalah pemandangan asing di balik pagar tinggi, tempat mereka tidak pernah punya tiket masuk.
Ironi ini mencerminkan ketidakseimbangan prioritas bangsa. Kita sibuk membangun citra modern, tapi lupa membangun fondasi ekonomi rakyat. Kita rajin menggelar turnamen olahraga, tapi gagal menyiapkan kompetisi sehat di dunia kerja.
Ekonomi yang Manusiawi dan Produktif
Seharusnya ukuran keberhasilan pembangunan, bukan dari jumlah proyek selesai, tetapi dari jumlah manusia yang sejahtera. Lapangan pekerjaan adalah indikator paling konkret dari keseimbangan ekonomi. Kita tidak bisa menerimanya sebatas manipulasi retorika.
Pemerintah perlu menggeser fokus dari belanja habis pakai menjadi investasi pada manusia. Program pendidikan vokasi, insentif industri lokal, dukungan bagi UMKM maritim, serta perlindungan sosial yang tepat sasaran perlu penguatan. Di sinilah makna sejati kemandirian ekonomi. Bukan semata pertumbuhan makro, tetapi hidup di setiap rumah tangga rakyat.
Kita juga perlu jujur, bahwa melakukan pembangunan ekonomi tidak selalu berbasis logika proyek. Ia membutuhkan kepekaan sosial. Butuh keberanian untuk menunda proyek besar yang tidak mendesak, dan mengalihkan dana ke sektor yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
Belajar dari Lapangan yang Sebenarnya
Kalau kita mau belajar dari olahraga padel itu sendiri, ada ironi yang menarik. Di dalam permainan, kemenangan tidak bergantung pada kekuatan, tapi pada koordinasi dan strategi. Padel mengajarkan keseimbangan antara serangan dan pertahanan, antara tenaga dan akal.
Begitu pula dalam ekonomi. Pemerintah tidak bisa hanya “menyerang” lewat program pembangunan besar tanpa memperkuat “pertahanan” berupa ketahanan sosial dan lapangan kerja. Jika satu sisi timpang, permainan akan kalah cepat.
Mungkin di sinilah kita perlu belajar lebih jauh dari metafora “lapangan”. Lapangan padel hanya sebidang ruang untuk bermain, sementara lapangan pekerjaan adalah ruang hidup bagi jutaan orang. Yang satu membakar kalori, yang lain menghidupi keluarga.
Menutup dengan Harapan
Tidak ada yang salah dari menjamurnya lapangan padel. Tapi, ukuran bangsa yang sehat bukan dari banyaknya arena bermain, melainkan dari banyak warganya yang punya pekerjaan layak.
Pemerintah boleh saja mengklaim masih dalam masa transisi, tetapi waktu tidak menunggu. Setiap hari, ada lulusan baru yang mengantre pekerjaan. Banyak kepala keluarga yang kehilangan penghasilan, dan ironi anak-anak belajar hidup tanpa jaminan masa depan.
Kita tidak bisa terus membiarkan paradoks ini tumbuh. Sebab jika kita acuh, padel akan menjadi simbol baru dari ekonomi eksklusif. Ialah, tempat sebagian kecil bermain, sementara sebagian besar menonton.
Sudah saatnya pemerintah berhenti mencari alasan dan mulai membangun keberpihakan nyata. Lapangan padel boleh terus bertambah, asalkan bersamaan dengan itu, lapangan pekerjaan juga terbuka selebar-lebarnya. Karena bangsa yang adil bukan bangsa yang ramai bermain, tapi bangsa yang semua rakyatnya bisa bekerja.












Tinggalkan Balasan