Populisme Tanpa Rakyat

Populisme Tanpa Rakyat
Sumber Ilustrasi : OpenAI

“Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Kalimat sakral yang kerap menggaung di setiap orasi politik, kini terdengar seperti gema yang hampa. Dalam praktiknya, rakyat semakin kehilangan posisi dalam panggung besar kekuasaan yang konon kabarnya untuk mereka. Populisme, yang sejatinya lahir dari semangat membela rakyat kecil, justru berubah menjadi tameng yang menutupi keserakahan elite.

Di negeri ini, populisme sering tampil bukan sebagai ideologi pembebasan, melainkan strategi komunikasi politik. Jargon kesejahteraan dan pemerataan hadir hanya di setiap menjelang pemilu. Namun setelah menduduki kursi kekuasaan, rakyat kembali terabaikan. Mereka yang dulu menjadi sumber suara kini hanya menjadi latar belakang foto. Atau, pelengkap narasi pencitraan, serta objek statistik dalam laporan pembangunan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan pengatasnamaan proyek-proyek besar untuk kepentingan rakyat, namun justru menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya. Pembangunan infrastruktur memang tampak megah di mata kamera, meski menyisakan cerita pilu di baliknya. Sebutlah penggusuran, kerusakan lingkungan, dan hilangnya ruang ekonomi lokal. Ironisnya, pemerintah menganggap sebagai bentuk pesimisme atas kritik kebijakan semacam itu, bahkan pengkhianatan terhadap semangat nasional.

Misalnya, fenomena seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), mereka menjualnya dengan retorika pemerataan pembangunan. Namun, di lapangan, proyek itu memperlihatkan betapa mudahnya kepentingan ekonomi elite menyingkirkan suara rakyat kecil. Rakyat terpaksa angkat kaki dari tanahnya sendiri. Hal yang sama terjadi dalam proyek kereta cepat. Efisiensi dan kebanggaan nasional menjadi alasan untuk menutupi pemborosan anggaran dan keterlambatan yang menguras kas negara.

Sementara itu, program-program populis seperti Makan Bergizi Gratis di klaim sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat. Namun jika kita menelusurinya lebih dalam, program itu lebih menyerupai proyek politik yang menegaskan keberpihakan pada citra, bukan substansi. Di tengah lemahnya daya beli masyarakat dan meningkatnya pengangguran, bantuan yang simbolik semacam itu tidak banyak mengubah realitas struktural kemiskinan.

Populisme di Indonesia kini lebih menyerupai drama dengan panggung megah, di mana rakyat sekadar menjadi figuran. Elite berbicara atas nama rakyat, namun tidak lagi berbicara dengan rakyat. Penyusunan kebijakan di ruang tertutup, dengan pertimbangan politik yang lebih kuat daripada moral publik. Padahal, inti dari demokrasi bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana menjalankan kekuasaan untuk kepentingan mereka yang memberi mandat.

Ada pergeseran yang menyolok antara rakyat ideal dan rakyat nyata. Dalam retorika politik, rakyat selalu tergambar sebagai entitas suci, sumber legitimasi, bahkan simbol moralitas bangsa. Namun dalam praktik kebijakan, rakyat hidup dari upah minimum, menanggung beban harga pangan, dan kehilangan lahan dan pekerjaan. Pendek kata, mereka justru menjadi korban dari keputusan-keputusan politik yang tanpa mendengar mereka.

Krisis ini sebenarnya bukan sekadar soal ekonomi atau kebijakan, melainkan soal rasa memiliki terhadap negara. Rakyat semakin merasa terasing dari pemerintahan yang seharusnya mereka pilih dan dukung. Ketika negara lebih sibuk melayani kepentingan kelompok tertentu, rakyat kehilangan kepercayaan bahwa kekuasaan masih berpihak pada mereka. Dalam situasi seperti ini, populisme hanya menjadi alat legitimasi bagi elite untuk mempertahankan dominasi.

Kita tidak kekurangan pemimpin yang pandai berbicara atas nama rakyat. Yang langka adalah pemimpin yang benar-benar mendengarkan rakyat. Ukuran keberpihakan sejati bukan dari seberapa sering kata “rakyat” terucap dalam pidato. Namun, seharusnya bahwa setiap pengambilan keputusan mampu menyentuh kehidupan mereka secara nyata.

Sudah saatnya kita meninjau kembali makna populisme di Indonesia. Jika memaknai populisme hanya menjadi alat retorika untuk merebut simpati. Maka sesungguhnya, ia akan selalu berujung pada pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan sosial. Populisme sejati seharusnya mendorong pemberdayaan, bukan ketergantungan. Ia memberi ruang bagi rakyat untuk terlibat, bukan sekadar menjadi objek bantuan.

Kita juga perlu mengembalikan kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah milik pribadi atau partai, melainkan amanat publik. Amanat yang perlu menjaga integritas dan rasa malu jika gagal menunaikannya. Dalam konteks ini, budaya politik kita perlu bersih dari mentalitas “asal rakyat senang sesaat”. Politik yang sehat tidak lahir dari janji spektakuler, tetapi dari konsistensi dan tanggung jawab dalam menjalankan amanah.

Fenomena populisme tanpa rakyat adalah peringatan bahwa demokrasi kita sedang kehilangan ruhnya. Demokrasi tidak lagi menjadi arena partisipasi, melainkan kompetisi pencitraan. Rakyat yang seharusnya menjadi subjek kini mereduksi hanya sebagai objek statistik dan alat justifikasi kebijakan.

Mungkin sudah saatnya rakyat berhenti berharap terlalu banyak pada retorika populis. Saatnya kita mengambil peran aktif dalam mengawasi, menuntut, dan menentukan arah kebijakan. Karena sejatinya, demokrasi hanya akan hidup jika rakyat tidak lagi diam.
Populisme tanpa rakyat ibarat kapal tanpa kompas. Hanya tampak megah dari luar, namun sejatinya kehilangan arah di tengah lautan kekuasaan. Dan, selama menjadikan rakyat hanya sebagai perisai menutupi keserakahan. Negara ini, ibarat berlayar dalam lingkaran janji yang tak pernah sampai ke pantai kesejahteraan.