Sabtu malam sekelompok sahabat melintas tol Bali Mandara yang mulus menambah keceriaan dan kedekatan di antara mereka. Sebuah media komunikasi yang cukup baik dan efektif setelah beberapa bulan mereka berpisah karena pindah dinas. Di atas tol yang memotong laut kami menyaksikan aktifitas pelabuhan yang rapi dan tertib, bahkan tampak kemewahan “Marina” berdiri megah di atas tanah pelabuhan.
Sekelompok keluarga datang ke Pelabuhan Benoa menyambut long weekend ke berbagai kota dengan kapal penumpang. Wajah-wajah sumringah terpancar dari mereka meski pelabuhan tampak ramai namun kedatangan & keberangkatan kapal relatif tepat waktu. Tidak ada lagi antrean kapal barang yang akan sandar dan lepas, dan performansi pelabuhan meningkat drastis seiring sirnanya wabah kopid.
Pengelola Pelabuhan mensyukuri keuntungan dengan berbelanja sarana-prasarana teknologi tinggi untuk mendukung pelayanan terbaik bagi konsumen. Pelabuhan kecil mendukung pelabuhan menengah dan utama demikian sebaliknya. Manajemen pelabuhan berupaya memperluas properti dengan membeli lahan dari rakyat dan belanja modal dari uang sendiri tanpa perlu memajaki negara.
***
Bak diamond, pengelolaan pelabuhan melalui pembelian lahan serta investasi dari uang sendiri adalah kemegahan. Kemewahan diamond tertinggi adalah pemberian konsesi oleh pemerintah melalui penugasan. Di bawah puncak secara berurut, pemberian konsesi oleh pemerintah kepada BUP melalui pelelangan dan melalui akta perjanjian, tersebut merefer PP 64/2015.
Hal berbeda terjadi pada rentang tahun sembilan puluh hingga dua ribuan, bahkan sebagian besar pelabuhan masih mendapat lahan hibah dari pemerintah untuk mengelola bisnisnya. Peristiwa kebakaran kilang minyak milik pertamina di Tanjung Priok, dan cara penguasaan lahan warga Rempang di Batam, mendapat penolakan masyarakat. Tak terkecuali jika lahan-lahan tersebut BUP kelola, maka akan berpotensi mengganggu bisnisnya.
UU 17/2008 mengisyaratkan pemerintah mendelegasikan pengelolaan pelabuhan kepada BUP. Poinnya, bagaimana BUP mendapatkan pelimpahan konsesi dari pemerintah? Melalui penerimaan lahan hibah dan belanja dengan modal negara atau dengan cara lain? Mari Simak perspektif berikut ini.
***
Di kalangan akademisi dan praktisi bisnis pelabuhan mendefinisikan pelabuhan sistem sewa dengan istilah Landlord Port. Istilah tersebut menjelaskan BUP menyewa kepada pemerintah atas pemanfaatan sejumlah lahan sebagai alat produksi pelabuhan melalui konsesi. Pemerintah memegang kendali penuh atas lahan tersebut dengan memberikan konsesi kepada BUP sesuai waktu dan nilai keekonomian lahan.
Perundangan kita tidak mengatur praktik landlord port secara mendetil, namun semata-mata mengikuti sistem pengelolaan pelabuhan yang berlaku di negara-negara tetangga. Pemerintah membutuhkan biaya besar untuk merawat pelabuhan dengan segala keterbatasan anggaran, maka penyerahkelolaan kepada BUP sangat realistis.
Dewasa ini kita sering mendengar rencana pemerintah ingin “menjual” beberapa pelabuhan kepada BUMN dan Swasta. “Swasta” itu bisa perusahaan dalam negeri maupun luar negeri. Rencana penjualan tersebut memiliki beberapa alasan, seperti meningkatkan fasilitas, meningkatkan layanan, sekaligus menekan beban APBN.
Rencana penjualan pelabuhan tersebut, tentu saja mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Kritikan masyarakat muncul berawal dari ketabuan mendengar istilah “menjual” dan “swastanisasi” atas aset nasional tersebut. Masyarakat menyayangkan jangan sampai aset yang merangkai hajat hidup orang banyak pengelolanya berpindah ke penghisap keuntungan semata.
***
Penyewaan lahan dalam perspektif pelabuhan, alih-alih anda memiliki rumah namun hanya menguasai bangunan, sementara lahannya milik orang lain. Potensi gangguan paling nyata adalah anda tidak akan selamanya menempati rumah tersebut ketika sewaktu-waktu pemilik tanah mengambilnya. Hal itu berarti, anda hanya memiliki hak kelola lahan tapi kesulitan mendapatkan hak guna bangunan.
Dalam konteks penganggaran pelabuhan, kita harus selalu membayar biaya konsesi kepada pemerintah sebagai pengganti biaya sewa lahan atas bangunan di atasnya. Belum termasuk bangunan yang semestinya kita perlu merawat untuk memperpanjang usia bangunan. Penggandaan biaya seperti ini yang selalu pengelola pelabuhan keluhkan.
Sisi lain potensi konflik atas lahan HPL masih sering terjadi, seperti belum lama ini sekelompok warga mengklaim lahan yang telah mereka tempati puluhan tahun. Meski nenek moyangnya lebih dulu ada, tetap saja keberadaannya “rentan” bermasalah oleh entitas yang datang belakangan. Kondisi seperti ini sudah pasti membebani keuangan perusahaan plat merah yang lahannya berstatus hibah dari negara.
Kwalitas diamond pelabuhan akan terwujud ketika pemodal membeli lahan menggunakan uang sendiri dan berbelanja modal dari hasil jerih payah sendiri. Hak-hak warga atas tanah pelabuhan perlu mendapat perhatian secara serius untuk memperkecil ruang potensi konflik di kemudian hari. Kewajiban pemodal memanfaatkan lahan dari alam secara terukur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1 Comment