Pada suatu malam, dalam duduk tersimpuh dan terdiam, namun hati saya terbawa hanyutnya kebutuhan yang tidak terbayangkan. Harapan demi harapan telah diucapkan. Usaha satu, dua, tiga dan lainya telah diupayakan sampai menjelmakan dan menambah pemikiran yang dalam serta tidak menyehatkan.
Pikiran tersebut sampai pada suatu titik yang sangat tajam namun dibarengi dengan gerombolan pertanyaan, untuk apa ya saya ada di sini? Mengapa saya ada dan di adakan? Mengapa saya harus melakukan? Pertanyaan-pertanyaan terus tak terbendung.
Titik tertajam pemikiranku menembus batasan bahwa saya ada, pasti ada yang mengadakan. Berarti ada yang lebih berkuasa. Berarti ada maksud diadakanya dong!. Trus buktinya apa? Saya tidak bisa menolak persoalan yang datang. Namun herannya saya harus mengerjakan soal kehidupan tersebut. Berarti yang punya kunci jawabanya bukan saya.
Renungan ini semakin usil dan tengil, sampai malu-malu hati berbisik. Berarti saya ini tidak punya kekuatan, tiada daya namun hanya upaya yang tidak luas. Berarti saya ini belum tahu masa depan, karena sudah pasti ada grand designnya. Lalu saya bertekad sikap, kenapa kehidupan dikhawatirkan?
Ternyata sikap selalu optimis terhadap apapun itu membantu setiap persoalan saya, sehingga diselesaikan oleh Sang Maha Punya Kunci Jawaban. Diantara sikap saya selanjutnya akhirnya menunggu-nunggu persoalan kehidupan yang datang. Artinya saya menyiapkan diri pantas diuji.
Setiap mengerjakan soal ujian kehidupan yang dihadirkan, saya terlebih dahulu membaca petunjuknya dan itu semakin menyejukkan hati karena terbimbing. Dari pengalaman yang ada, maka semakin terbaca polanya bahwa setiap persoalan kehidupan, pasti sang pembuat soal menginginkannya respon yang positif.
Pola berikutnya agar meningkat keberanian, kegembiraan dan optimistis dalam menatap dan menjalani kehidupan. Dalam arti tetap berusaha memegang prinsip. Dari pola tersebut adanya harapan agar isi jawaban semua persoalan kehidupan sesuai maunya sang pembuatnya.
Saya berkesimpulan bahwa suatu harapan dapat terwujud ternyata ada syaratnya. Diantara syaratnya yakni melaksanakan sesuai buku petunjuknya dengan tanpa pamrih. Syarat berikutnya selalu berani, gembira dan optimis. Kedua syarat tersebut menghendaki suatu keyakinan saya yang penuh bahwa semunya pasti akan terwujud.
Perjalanan menjalani pola tersebut tentu perlu kesabaran. Oleh sebab itu saya memintal bahagia dengan tidak meminta kesabaran. Memintal bahagia dalam setiap proses mengerjakan persoalan kehidupan. Bahagia itu lokasinya ada di hati. Hati itu milik Sang Maha Cinta. Upaya menjernihkan hati itu memang disuruh dan sebagai tugas pribadi dan komunitas.
Sebagai contoh ada orang sudah merasa shalat kok rezekinya segini-gini aja? Berarti orang tersebut beribadah dan menilainya sendiri serta hanya dari sisi pemikiran dan logika. Saya baru tersadar padahal pikiran dan keinginan sebagai pintunya godaan. Beribadah shalat itu tidak melibatkan logika.
Beribadah itu agar kita menjadi layak memimpin. Saya sebagai pemimpin masalah bukan dikendalikan masalah, bukan menyelesaikan masalah dan bukan melayani masalah. Fokus saya memimpin itu pada proses bukan hasil. Proses yang dilayaninya dengan tanpa pamrih. Berarti jelas beribadah itu hanya untuk mewujudkan keinginan Sang Maha Kuasa.
Ketika saya diberikan kekayaan setelah segala ikhtiar. Pola kekayaan itu hakekatnya dihadirkan sebagai persoalan. Pada detik pertama hadirnya persoalan kehidupan, maka detik kedua saya bersikap tersenyum menerima soal ujian yang sedang dibagikan.
Tersenyum karena sadar & ingat Sang Maha Pemberi Manfaat serta menghargai Sang Pembuat soal. Dan detik ke tiga, mengucap alhamdulillah sebagai ucapan syukur karena terpilih sebagai perserta. Mengapa saya harus bersikap syukur padahal diuji? karena sadar akan naik level.
Siapapun itu sebagai pemimpin diri sendiri sehingga memiliki pola tersebut bercirikan meningkatnya keberanian, kegembiraan dan selalu optimis. Maka wajar dan pantas diberikan rezeki banyak. Berarti Rezeki itu hanya karena kasih sayang dan rahmatNya.
Konsep kesabaran sebagai syarat mutlak gigihnya pemimpin tersebut dalam menjalani kepemimpinannya. Akhirnya prinsip yang saya punya bahwa setiap musibah itu sudah atas ijin Alloh. Menyadari setiap yang menimpa seseorang itu sudah atas ijin Alloh.
Berarti pola berikutnya ijin Alloh terlebih dahulu baru kejadian. Sangat jelas bagi saya bahwa ijin Alloh itu goib. Karena hal tersebut maka saya harus tenang. Tidak terpancing pada persoalan dan kelakuan orang lain. Tetapi terpancing pada sang pembuat soal kehidupan.
Konsentrasinya pada Alloh sang Maha Penolong. Sedangkan pertolongan Alloh hanya pada yang dikehendakiNya. Posisi persoalan itu sebagai sarana saya untuk sabar. Maka bagaimana dapat ditolong Alloh. Itulah rezeki tak terhingga.
Jika persoalan ekonomi sedang belum baik, maka saya lakukan berusaha sadar. Terjaga ingat Alloh dengan senyum dan mengucapkan wow luar biasa saya sedang menerima soal ujian kehidupan serta berucap alhamdulillah wa syukurilah. Belajar praktik bersyukur dan bersabar dengan melantai sujud serta keras berniaga hanya karena Alloh. Dengan itu, hajat, keperluan dan kebutuhan saya pasti akan dipenuhi oleh Sang Maha Punya Rezeki.
Tinggalkan Balasan