Tidak Ada Pengorbanan yang Sia-Sia
Penulis : Ai Ilawati
Pesan utama : Mengapa program PPG yang ditawarkan Pemerintah, harus berbarengan dengan suami yang sedang sakit parah?
Pendidikan Profesi Guru ( PPG). Merupakan pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang mempersiapkan peserta didik dengan persyaratan keahlian khusus dalam menjadi guru. Hari ini melihat orang-orang sibuk mempersiapkan diri untuk menjalani pretest Pendidikan Profesi Guru (PPG), membuat pikiran saya berjalan mundur ke belakang.
Hal ini mengingatkan saya kejadian pada tahun 2019. Saya diantar suami mengendarai sepeda motor untuk mengikuti pretest tersebut. Dan Alhamdulillah saya lulus pretest tahun itu, dan berharap tahun itu juga saya bisa mengikuti PPG.
Namun, nasib belum bepihak kepada saya, hampir dua tahun saya menunggu, dan pada tahun 2021 ada panggilan lagi, dan lagi lagi belum masuk kuota. Waktu itu semangat saya sudah hampir hilang dan mulai padam, mengingat penantian panjang yang melelahkan membuat saya putus harapan. Pada tahun 2022 tepatnya bulan Maret ketika saya masih menunggu panggilan PPG, nasib buruk menghampiri keluarga kami.
Suami yang saya cintai yang selalu setia, tanggung jawab, juga perhatian terhadap keluarga, menderita penyakit yang sebelumnya tidak pernah ia derita, saya hanya mengira itu penyakit biasa yang satu atau dua hari bisa sembuh dengan minum obat warung/apotik. Namun lama kelamaan penyakitnya tampak semakin parah, meskipun telah diobati berulang kali oleh dokter yang ada di rumah sakit. Baru dua hari kami pulang ke rumah, namun bersamaan dengan kondisi suami yang sedang sakit, anak pertama saya pun yang sedang berada di ponpes mengalami DBD dan langsung dibawa oleh gurunya ke rumah sakit yang sama.
Hari demi hari saya lalui di rumah sakit. Entah pada hari yang ke-berapa, ada teman yang menge-share bahwa saya masuk daftar sebagai Guru yang mengikuti program PPG tahun 2022. Antara senang juga sedih, antara meneruskan PPG atau membatalkannya, ditengah kegalauan, saya mantapkan dalam hati, kesempatan tidak akan datang dua kali. Bismillah semoga bisa.
Zoom meeting pun sudah dimulai, saya berusaha buka link di telegram dan mengikuti zoom pertama saya di rumah sakit. Waktu itu saya harus segera mengumpulkan berkas-berkas persyaratan lengkap. Walau banyak sekali hambatannya, namun akhirnya dapat terkumpul juga dan tanpa menunggu lama lagi setelah kami kembali dari rumah sakit berkas itu saya kirim lewat JNE.
Bermodal Bismillah dan tekad yang kuat, kalau saya harus bangkit dan lebih semangat untuk mengikuti program itu, mengingat sudah hampir 3 tahun saya menunggunya setelah lulus dari pretest tersebut, dan PPG tahun ini masih On Line jadi bisa nyambi. Namun, kebahagiaan itu hanya sementara karena suami saya penyakitnya bertambah parah dan harus bolak balik ke rumah sakit. Dan bukan hanya rumah sakit yang pernah kami datangi, setiap ada usulan dari orang lain terkait pengobatan suami, kami pun mendatanginya.
Namun tidak memperlihatkan ada perubahan walau hanya sedikit saja. Entahlah, keadaanya semakin hari malah semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya yang dulu tegak, tinggi, walau kurus, kini, ringkih, lemah tidak ada kekuatan sedikitpun, tinggal tulang yang terbungkus kulit hingga setiap lekukannya nampak terlihat jelas.
Dengan suaranya yang parau, dan dengan segenap kekuatannya yang ada, suami pun berkata
“Mah….Ayah sudah tidak kuat, maafkan Ayah,… karena banyak salah”, sambil tersendat kemudian melanjutkan ucapannya dengan suaranya yang hampir tidak terdengar,
“Ayah titip anak-anak, jadikan mereka anak yang sholehah dan tercapai segala cita-citanya”, sambil menarik nafas dalam dan dengan lirih dia berkata lagi dengan nada penekanan” “jangan sampai mereka kekurangan jajan”.
Seketika hati saya luruh, hanya bisa menunduk pasrah dengan menjawab ”Iya”, sambil berderai air mata yang tidak bisa saya sembunyikan lagi.
Kami saling merangkul, dan saling menyemangati. kami pun berdo’a.
“Semoga kita bisa melewati masa sulit ini”, Saya kembali menyemangatinya,
”Ayah pasti sembuh dan mamah lulus PPG”, Jadi kita bisa bersama-sama membesarkan anak-anak dan mensukseskan mereka”.
Semua terdiam, suasana senyap kami larut dalam kesedihan. Malam-malam menjadi mimpi yang menakutkan bagi kami, baik di rumah sakit maupun di rumah sendiri. Ketika malam tiba dimana orang-orang sedang beristirahat, bermimpi indah, namun bertolak belakang dengan kami.
Kami mulai mempersiapkan diri untuk begadang sesekali menekan tombol keybord dan sesekali memijit suami, kadang dua tangan bekerja berbarengan. Ketika suami sudah mulai tenang, dan tugas PPG sudah terselsaikan sampai peng-uploadan barulah saya bisa istirahat walaupun masih dalam kondisi terjaga, dan kadang tetidur dengan note book yang masih menyala karena kelelahan. Hari demi hari membersamai saya dengan tugas PPG sambil megurus suami, selama 5 bulan, dan sampailah pada hari yang paling ditunggu-tunggu yaitu pengumuman kelulusan. Saya pun harus membuka akun.
Hati saya berdebar kencang, berkecamuk, namun pada akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk membukanya, Lafadz Basmallah tidak putus-putusnya saya bacakan. Dan akhirnya, tertujulah pada satu tulisan yang menyatakan “LULUS”. Puji syukur saya ucapkan berkali-kali dengan mengucap “Alhamdulillah”, Tidak hanya itu saya pun dengan spontan melakukan sujud syukur sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Allah SWT yang telah banyak memberikan segala kemudahan, ditengah sulitnya saya.
Dan begitu terharunya saya, mengingat perjalanan panjang yang sangat melelahkan, perjuangan yang begitu banyak pengorbanan. Tidak terasa air mata haru pun mengalir bergulir berjatuhan dengan derasnya dan tidak bisa tertahankan lagi tumpah seketika. Senang karena saya bisa lulus, dan yang paling menyakitkan, keberhasilan saya tanpa seorang suami yang saya cintai yang menjadi spirit dan motivator saya. Qadarullah suami meninggal satu minggu sebelum UP (Ujian Pengetahuan) dilaksanakan.
Hanya sabar dan syukur yang selalu saya pegang, dan saya pun mulai sadar Pasti ada hikmah dibalik semua ketentuan. Dan, begitulah tuntutan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan salah satunya dengan mengadakan program Pendidikan Profesi Guru (PPG), agar tuntutan Sekolah dan tutunana rumah tangga dapat tercapai, namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa PPG yang saya ikuti harus berbarengan dengan suami yang sedang sakit parah? sampai meninggal karena tidak bisa disembuhkan. Walau demikian, saya tidak boleh menyesal, karena saya sudah berusaha untuk keduanya dengan memaksimalkan ikhtiar, disertai dengan do’a-do’a yang saya langitkan.
Dan sesungguhnya tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Dalam hati bertuntas kesyukuran yang membahagiakan dalam kedukaan. Tuhan meluluskan saya sekurang-kurangnya hal ini mampu merawat seketika kelukaan bathin saya. Karena setiap yang pergi akan diganti kembali oleh Illahi. Sesedih-sedihnya hari ini, hari esok tetaplah menjadi cerita baru. Alfatihah untuk suami saya, semoga engkau tenang dialam sana, dan Allah menempatkanmu di Syurga-Nya, Aamiin YRA.
Yuk, ikuti lini masa kami di Instagram captwapri untuk informasi terbaru lainnya!
Baca juga:
Tinggalkan Balasan