Tidak ada yang dirugikan
Atau merugikan jika kita
Mau memaafkan
KTMD_JULIANUS GULTOM
Tidak Ada Untung Rugi dalam Memaafkan
Sebuah pemandangan yang indah ketika saya melintas di samping gedung sekolah. Tak ingin rasanya masuk ke ruangan kerja melihat tongkrongan anak-anak untuk menghabiskan waktu istirahat mereka. Saya terperangah melihat anak-anak kelas SD yang baru saja lulus dari pendidikan TK memperagakan gerakan-gerakan meniru tik-tok. Mereka bercerita tak canggung-canggung sekalipun terlihat ada salah seorang anak yang terdiam saja memperhatikan celoteh teman-temannya.
Saya sangat tertarik untuk mendengar, merasa tak segan dan tak merasa menjadi rendah ketika saya ingin turun ke gerombolan anak tersebut. Hampir setiap hari ketika saya berpapasan dengan anak-anak mulai dari TK, SD dan SMP mereka selalu akrab menyapa saya.
Good Morning sir Gultom, saya kembali menyapa Good Morning children, How are you?
Lanjut mereka, I`m fine thanks, and you? Oh… I`m fine thank you.
Lagi asik cerita apa nih… bapak boleh ikutan? Seorang di antara mereka menjawab boleh pak Gultom.
Dengan buru-buru mereka menceritakan pengalaman mereka kemarin ketika pergi bersama orang tua mereka ke pasar, dan tiba-tiba di tengah jalan turun hujan yang sangat deras, kebetulan mereka melintas dari pertengahan perkebunan yang jalannya adalah tanah merah. Kondisi jalan sangat becek dengan tanah merah yang berubah seperti bubur. Mobil yang dikendarai mereka akhirnya mogok.
Saya sebagai pendengar cerita itu hanya berpikir dalam hati bahwa anak-anak sekecil mereka sudah mampu bercerita tentang pengalaman hidup mereka dan tak disadari kemampuan literasi mereka sudah tercipta dan mampu menceritakannya kembali. Bagaimana caranya mobil kalian bisa lewat? Dengan cepat ada yang menjawab: ayahku menelpon temannya dan setengah jam kemudian teman ayahku sudah sampai dan membawa mobil yang bannya sangat besar sekali, lalu mendorong mobil kami. Begitu pak Gultom kata anak tersebut. Tetapi si anak itu masih berkata lagi bahwa ayahnya mengatakan itu tadi bukan mobil, itu traktor.
Pada saat itu ada seorang anak yang terlihat diam saja, lalu saya bertanya ada apa dengan kamu? Tiba-tiba ia menangis, sayapun menjadi semakin bertanya-tanya dalam hati ada apa sampai anak ini menangis. Seorang diantara mereka tiba-tiba menjawab, “Tadi dia dipukul temannya di depan pintu ruang guru.” Kenapa dipukul nak? Tanya saya. Karena ini nih jahat, dia mengambil kue donat temannya jawabnya. Lalu saya kembali menanya, “Benar gak nak kamu ambil kue donat temanmu? Iapun semakin menangis keras. Tapi…tapi…saya sudah minta maaf pak Gultom…tapi dia gak mau maafin saya!
O…begitu, ya sudah nanti kamu datang lagi ya minta maaf ke dia, jawab saya lagi. Lalu anak itu pergi berlari dan menemui temannya yang kecewa karena kue donatnya telah habis dimakannya. Ia kembali meminta maaf, sambil iba menahan tangisnya. Tak disangka si anak tersebut memeluknya dan meraka saling memaafkan satu sama lainnya. Layaknya seperti anak yang sudah besar iapun mengambil sehelai tissue dan mencoba melap wajah temanya yang sedang menangis terisak-isak.
Lega rasanya ketika mereka saling memaafkan. Keceriaan kembali terpancar dari wajahnya dan dengan spontan ia mengajaknya yuk…kita main! Di situ ada pak Gultom. Merekapun mulai berlari ke halaman sekolah dan bermain bersama seolah-olah sudah tidak terjadi apa-apa.
Seperti sebuah pertunjukan drama bukan? Potensi literasi itu ternyata sudah ada dalam diri setiap insan kita tinggal mengembangkan saja. Hal itu membuat saya terinspirasi agar para pendidik dapat mengembangkan giat berliterasi dikalangan para pelajar.
Ada pesan moral yang sangat berharga yang dapat kita petik dari narasi ini, memaafkan sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit, tetapi mengapa banyak orang yang tak mau memaafkan kesalahan orang lain? Bahkan menyimpan dendam berkaratpun terjadi tanpa disadari itu justru merugikan diri sendiri. Kalau dipikir-pikir apakah ada yang dirugikan jika kita mau memaafkan? Coba renungkan sejenak, tidak ada kan? Lalu apakah ada hal yang merugikan ketika kita mau memohon maaf kepada orang lain atas kesalahan kita sendiri? Tidak ada kan? Lalu apa yang menjadi keuntungan bagi kita jika bisa saling memaafkan? Kedamaian membuat batin menjadi tenang, lapang, terasa ringan.
Damai itu indah, bukanlah sekadar slogan, tetapi bagaikan udara segar yang kita hirup melegakan nafas di dada. Ketika kata maaf keluar dan ketika hati yang mau memaafkan terlahir maka sahabatku yang dulu hampir hilang dari hidupku tidak akan berlalu begitu saja. Sahabatku akan selalu ada didekatku bahkan sampai pada akhir hidupku ia ada dihatiku. Demikian juga diriku akan selalu berarti baginya karena sempat menghiasi bingkai kehidupannya.
Apakah ada yang berpendapat lain bahwa memaafkan itu sangat sulit? Mungkin saja ada. Coba kita renungkan hal yang menjadikan sulit adalah diri kita sendiri bukan? Di suatu hari seorang anak gadis pulang dari sekolah terlambat sampai di rumah, lantas sang ibu menegur dan bertanya dengan nada keras mengapa ia pulang terlambat. Si anak malah kembali marah kepada ibunya, saat itu anak tersebut sedang merasa kecapean karena banyaknya tugas di sekolah, dan malam ini ia harus menyelesaikannya karena deadline pengumpulannya besok pagi jam delapan.
Belum lagi ia harus membuat prakarya yang belum tuntas seratus persen untuk dikumpulkan besok siang jam satu. Pada tengah malam pukul 00.00 si anak gadis itu tertidur lelap tanpa selimut, dinginnya AC tak dirasakannya lagi. Sang ibu entah kenapa terbangun dan menghampiri anak gadisnya, lalu si ibu mencium kening gadisnya dan membentangkan selimut ke tubuhnya. Oh…betapa indahnya ketika sang ibu mau memaafkan anaknya yang sudah terlihat lelah karena tugas kesehariannya.
Alangkah indahnya jika kita bisa saling memaafkan dan mengambil hikmah bahwa seorang anak kecil saja bisa melakukannya, menjadi cerminan bagi kita orang dewasa untuk dapat seperti mereka.
Tinggalkan Balasan