Ijazah Cuma Formalitas, Perbuatan Bersuara. Di sebuah kampung kecil bernama Harmoni, kehidupan berjalan dengan sederhana namun sarat makna. Di antara warganya, terdapat dua sosok yang sangat berbeda. Ada Pak Rudi, lulusan dari perguruan tinggi terkemuka, yang selalu dengan bangga memajang gelar-gelarnya di dinding kantornya. Baginya, semua orang wajib menghargai semua gelar sebagai bukti keunggulan akademis. Sebaliknya, Bu Sari, seorang wanita sederhana pesohor seantero kampung, tidak memiliki gelar tinggi, namun kehangatan dan kebijaksanaannya membuatnya setiap penduduk menghormatinya.
Suatu hari, badai datang secara tiba-tiba. Hujan lebat yang terus-menerus mengubah alur sungai membuat jalan dan rumah segera terendam. Kampung Harmoni mendadak berubah menjadi lautan lumpur, dan kepanikan pun mulai menyelimuti. Dalam keadaan genting itu, pemerintah kampung segera menggelar pertemuan darurat di balai desa.
Di ruang pertemuan yang sesak dengan warga, Pak Rudi tampil penuh percaya diri sambil memaparkan teori-teori kompleks beserta data statistiknya. “Berdasarkan analisis yang saya lakukan, kita perlu membangun sistem drainase modern untuk mengalihkan aliran air,” ujarnya dengan nada tegas. Walaupun rencana itu terdengar canggih, ternyata pelaksanaannya membutuhkan waktu dan dana yang tidak tersedia di tengah situasi darurat.
Sementara itu, Bu Sari duduk di salah satu sudut ruangan, mendengarkan dengan seksama. Ketika seorang warga bertanya tentang solusi cepat untuk mengatasi banjir, dengan lembut ia mengusulkan. “Mengapa kita tidak menggali parit sederhana di sekitar rumah yang rawan banjir? Dengan begitu, air bisa mengalir ke sungai terdekat. Mari kita bekerja bersama, tangan demi tangan, demi menyelamatkan rumah kita.”
Saran Bu Sari langsung mendapat sambutan hangat dari warga yang tengah cemas, dan semangat gotong royong pun berkobar. Di bawah bimbingannya, warga segera menggali parit untuk mengalirkan air dengan cara yang sederhana namun efektif. Sambil bekerja bersama, tampak wajah Pak Rudi yang semula penuh keyakinan mulai berubah. Ia menyadari bahwa tindakan nyata, ketulusan, dan kebersamaan jauh lebih berdaya guna dalam menghadapi bencana daripada teori-teori yang jauh dari kenyataan.
Malam harinya, di bawah sinar hangat lampu minyak, seluruh warga kampung bekerja bersama tanpa mengenal lelah. Pak Rudi, yang sebelumnya merasa lebih unggul karena gelar dan ilmunya, akhirnya turut serta dengan sikap rendah hati. Ia pun menyadari bahwa pengetahuan yang tertulis di atas kertas hanyalah catatan semata jika kepedulian dan tindakan nyata menyertainya.
Saat fajar menyingsing, banjir pun perlahan surut. Kampung Harmoni kembali pulih berkat kerja sama oleh kepemimpinan Bu Sari. Warga berkumpul untuk merayakan keberhasilan mereka, dan di antara sorak-sorai serta senyum tulus. Pak Rudi mendekati Bu Sari sambil berkata, “Hari ini aku belajar bahwa gelar dan ilmu saja tidak cukup. Sikap dan perbuatan nyata adalah cerminan pendidikan sejati.”
Sejak saat itu, Pak Rudi tidak lagi meremehkan kearifan lokal. Ia belajar mendengarkan dan menghargai setiap usaha, betapapun sederhana, karena dari sanalah keilmuan sejati tumbuh. Bu Sari, dengan kelembutan dan kebijaksanaannya, telah membuktikan bahwa seseorang tidak tampak dari gelar atau catatan akademis, melainkan dari perilaku dan kepekaan terhadap sesama.
Kisah di kampung Harmoni pun tersebar, menjadi pengingat bagi semua bahwa “Gelarmu hanyalah selembar kertas, ilmumu hanya catatan, dan tingkat pendidikan seseorang tercermin dari perilakunya.” Di balik setiap gelar dan catatan, yang paling utama adalah bagaimana kita bertindak dan menyentuh hati sesama.
Keesokan harinya, suasana di desa Harmoni tampak berubah drastis. Setelah bersama-sama merayakan keberhasilan, Pak Rudi dan Bu Sari mengajak warga berkumpul di balai desa untuk merancang masa depan yang lebih cerah. Pak Rudi, yang kini telah belajar menghargai kearifan lokal, menyarankan agar ilmu pengetahuan modern berpadu dengan pengalaman hidup yang telah mewaris secara turun-temurun. “Kita perlu inovasi yang berakar pada tradisi dan semangat gotong royong yang selama ini melindungi kita,” ujarnya dengan penuh antusias.
Bu Sari pun menimpali, “Ilmu tak hanya tercetak dalam buku atau terwujud melalui gelar, melainkan juga terlihat dari cara kita saling mendukung dan menjaga lingkungan.” Respon warga pun positif, sehingga mereka sepakat untuk mendirikan sebuah pusat kegiatan yang berfungsi sebagai ruang berbagi pengetahuan. Pengetahuan tentang teknik pertanian ramah lingkungan hingga metode pengelolaan air yang sederhana namun efektif.
Dalam beberapa minggu, pusat kegiatan itu pun mulai terwujud. Pak Rudi memberikan pelatihan dasar tentang pemanfaatan teknologi sederhana guna meningkatkan hasil panen. Sementara, Bu Sari berbagi kearifan lokal mengenai cara melestarikan alam dan tradisi. Semangat kolaborasi bertumbuh semakin menyatukan warga. Hal ini membuktikan bahwa pengalaman menghadapi bencana mengajarkan bahwa pendidikan sejati lahir dari tindakan nyata dan kebersamaan. Dan, menjadikan desa Harmoni contoh inspiratif bagi komunitas lainnya.
Tinggalkan Balasan