Literasi media, pada zaman sekarang ini, sudah menjadi sebentuk life skill wajib yang akan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Ia harus disediakan sebagai bagian dari hak warga negara atas pendidikan. Dalam dunia kesehatan sendiri, penting untuk membentuk tenaga kesehatan yang cakap digital dan mampu menjawab tantangan zaman.
Mengapa? Menurut Litbang MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), tahun 2021 hoax kesehatan (24,7%) lebih tinggi daripada hoax politik (22,7%) dan agama (4,9%). Dengan sebaran hoax terbesar di Facebook (49,4%) disusul Whatsapp (15,9%) dan Twitter (12,3%). Dengan masifnya sebaran hoax akan ada beberapa kerugian yang akan diterima masyarakat seperti perpecahan atau polarisasi, kebingungan, memicu ketakutan, membuat fakta sulit dipercaya, menurunkan reputasi, bahkan korban jiwa.
Di penghujung 2016, Ipsos MORI merilis data penelitian mengenai profesi-profesi paling dipercaya di muka bumi. Hasilnya, perawat (nurse) menduduki posisi teratas dari seluruh profesi paling umum di dunia. Berada posisi tengah adalah pengacara. Sementara yang mengantongi tingkat kepercayaan terendah adalah pekerja media, atau selanjutnya kita sebut jurnalis, hanya satu tingkat dari sales mobil dan politikus, dalam hal memperoleh kepercayaan.
Tingkat kepercayaan itu, nantinya akan berbanding lurus pada seberapa besar tenaga profesi itu bisa memengaruhi orang. Serta profesi yang membuat tenaga pekerjanya dapat dicap sebagai orang yang jujur dan etis. Peneliti dari The College of St. Scholastica, Jess Scherman mengatakan, pasien mempunyai tingkat kepercayaan yang sangat tinggi kepada perawat. Sehingga membuat profesi perawat mengantongi 93% kepercayaan.
Bekal kepercayaan masyarakat terhadap profesi perawat ini adalah modal sosial tersendiri. Langkah selanjutnya adalah bagaimana mengedukasi tenaga kesehatan ini agar makin cakap digital. Mereka mempunyai imunitas terhadap hoax, tidak mudah termakan atau share berita yang tidak jelas kebenarannya dalam media sosial. Bahkan dapat menjadi rujukan masyarakat yang kebingungan ketika mendapat banjir informasi khususnya dalam bidang kesehatan.
Menajamkan Nalar, Memperbaiki Sudut Pandang
Saat ini, iklim yang seharusnya demokratis di dalam bangunan bernama medsos itu ternyata justru bergeser jadi anarkis. Orang bukan cuma bebas berbincang dengan siapa pun, tetapi (merasa) bebas pula memaki siapa pun. Orang bukan hanya merdeka tertawa bersama orang lain tanpa harus saling mengenal, tetapi (merasa) merdeka pula menertawakan orang-orang yang tidak dikenal, persis di depan hidung mereka.
Hal ini terjadi karena kita, tanpa sadar, merasa impersonal. Akun kita jelas, nama dan identitas kita juga jelas, tetapi ada bias ilusi yang membuat kita di media sosial seolah-olah merasa bukan manusia. Kita merasa seperti sedang memainkan saja tokoh-tokoh dalam game online yang menembaki musuh-musuh yang juga sama-sama bidak daring, padahal sebenarnya yang sedang kita gerakkan adalah akun real dengan nama kita.
Untuk itu penting sekali kita memahami NETIKET/Netizen Etiket. Bermedia digital adalah perpanjangan indra kita, ia bukan dunia alternatif. Beretika baik di dunia nyata, juga harus beretika baik di dunia maya.
Perlu kita pahami ada 10 netiket, yaitu : Ingat keberadaan orang lain, jangan seenaknya sendiri. Teliti sebelum berbagi, jangan sebar hoaks. Jaga privasi orang lain, jangan sebar data pribadi mereka. Beri komentar dan saran yang baik, jangan kasar. Hormati nama baik orang lain, jangan cemarkan mereka.Simpan masalah pribadi, jangan umbar di medsos. Simpan pembicaraan privat, jangan umbar di ruang public. Hargai orang lain, jangan memaksakan pendapat. Hargai karya orang, jangan copas tanpa izin. Tulislah dengan sopan, jangan HURUF KAPITAL SEMUA
Mari Cek Fakta!
Bagimana mengenali hoax? Ada beberapa ciri hoax yang mudah dikenali, seperti judul menggoda untuk di klik (click bait), sensasional, bombastis, overthingking, menyerang croc brain (crocodile brain). Sistem kerja otak ini dianggap paling bertanggung jawab atas mudahnya penyebaran kabar miring (hoax). Dokter bedah saraf Roslan Yusni Hasan dari Tahir Neuroscience Center RS Mayapada mengatakan, croc brain bekerja secara emosional bukan rasional.
Mengapa hoax mudah menyebar? Karena literasi digital dan berpikir kritis yang belum merata, kurangnya rasa percaya masyarakat kepada pemerintah, polarisasi masyarakat, belum cakapnya memilih sumber informasi; Media Pers vs Situs abal-abal.
Ada beberapa tools melawan hoax, seperti Google Reverse Image yang berfungsi mencari unggahan foto pertama pada sebuah website. Tools ini berguna untuk menelusuri foto-foto yang diambil dari internet. Untuk cek fakta kita dapat membuka TURNBACKHOAX.ID atau CEKFAKTA.COM. Sedangkan cara paling mudah untuk mengecek fakta, dengan unduh aplikasi HBT (Hoax Buster Tools) pada playstore,
Gerakan edukasi literasi digital ini adalah pekerjaan rumah bagi Kominfo dan Mafindo Magelang Raya, termasuk keterampilan melakukan cek kebenaran suatu informasi bagi warga Magelang. Kegiatan ini semacam memberikan kekebalan terhadap hoax yang dibangun atau ditumbuhkan kepada setiap warga negara atau untuk melahirkan aktor-aktor penangkal hoax. Makin banyak warga yang mendapatkan wawasan tentang hoax maka harapannya akan makin besar kekuatan untuk menghentikan laju sebaran hoaks.
Tinggalkan Balasan