Modal Rekam Jejak
Penyelenggaraan pemungutan suara Pemilihan Umum Serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten & Kota serta Anggota DPD RI akan dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024. Hal yang wajar terjadi di tengah-tengah masyarakat setiap menjelang perhelatan Pemilu, banyak didatangi calon legislator untuk mendapatkan simpati pemilik suara. Potensi peningkatan biaya Pemilu 2024 dibanding 2019, berimplikasi langsung kepada kondisi keuangan calon legislatif.
Supaya bisa terpilih, setiap calon legislatif tetap akan berupaya meningkatkan popularitasnya, meningkatkan aktifitas kampanye, dan secara personal membiayainya. Personalitas atau orientasi kompetisi Pemilu masih berbasis pada calon legislatif dibandingkan partai politik. Orientasi kompetisi pemilihan legislatif 2024 tetap berbasis pada sisi popularitas dan personalitas calon legislatif.
Meskipun demikian, unsur kepartaian sebagai mesin politik riil di endonesia tidak dapat dikesampingkan keberadaannya bagi seorang calon legislatif. Dukungan pendanaan, jumlah massa besar, serta tingkat sebaran luas menjadi daya tarik calon legislatif terhadap peluang keterpilihannya. Lantas, bagaimana peluang seorang calon yang hanya memiliki dukungan masyarakat, tetapi tidak memiliki afiliasi partai politik serta keuangan minimalis?
Swadana Masyarakat
Menyitir survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia sepanjang tahun 2021 – 2022 sebanyak 210,03 juta orang. Jumlah tersebut merupakan sebuah peluang bagi lembaga atau individu peserta Pemilu untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya melalui media sosial. Jumlah massa tersebut akan diperebutkan oleh calon-calon yang akan berlaga di pentas politik nasional untuk Pemilu yang akan datang.
Konstelasi merebutkan hati rakyat merefleksi melalui survei-survei popularitas tokoh nasional oleh lembaga survei yang ada. Dengan cara ini, inisiator pendukung dapat menghitung kekuatan serta persebaran pendukung calon pilihannya. Setiap koordinator melakukan penggalangan donasi dari konstituennya masing-masing. Dan, menyerahkannya ke seseorang yang memiliki representasi dari unggulannya.
Swadana masyarakat ini tentu harus berlandaskan tanpa pamrih pribadi. Klise terdengar, tapi menyiratkan harapan kemaslahatan masyarakat kepada pemimpin setelah terpilih akan lebih baik. Masyarakat dapat mengevaluasi kinerja pemimpin secara terus-menerus, dan ketika ia mengingkar janji, maka meninggalkannya adalah pilihan yang masuk akal.
Partai Politik Pengusung
Partai Politik merekrut ketokohan seseorang menjadi calon anggota legislatif mewakili partainya telah menjadi fenomena di setiap menjelang pemilu. Titik tekannya bukan pada profesionalitas ideologi politik militansinya, tetapi bertumpu pada pilihan popularitas tokoh. Mosco 2009, memberikan analisa bahwa ketika transformasi popularitas tokoh dipertukarkan, maka nilai politik tidak berjalan secara linier.
Kontestasi masuknya tokoh ke dunia politik mengindikasikan lemahnya proses kaderisasi di internal partai tersebut. Komodifikasi nilai ketokohan seseorang ke nilai politik praktis secara teoritis telah terjadi. Meskipun demikian, substansi komodifikasi tidak berdampak positif bagi masyarakat konstituen yang diwakilinya.
Kehadiran figur yang memiliki massa nonpartisan kuat bisa menjadi antitesa komodifikasi politik tersebut. Sinergi politik saling menguntungkan diantara keduanya perlu dilakukan sedemikian rupa agar tidak merugikan konstituen masing-masing. Sebagaimana sikap pendukung loyalis yang tidak berharap jabatan kepada jagoannya, sikap antitesa komodifikasi perlu dilakukan partai politik pengusung.
Kesetaraan Bersama
Untuk menghilangkan oligarki elit politik dalam penetapan calon legislatif, perlu dibentuk peraturan hukum yang menjadi dasar partai politik atau gabungan partai politik dalam seleksi bakal calon di tingkat partai. Setidaknya, regulasi mengatur mekanisme seleksi calon legislatif, syarat seseorang untuk dapat ditunjuk sebagai panitia seleksi bakal calon, serta penetapan standar penilaian calon. Dan, tentu yang tidak kalah penting adanya kewajiban pelaksanaan seleksi secara demokratis dan terbuka.
Mekanisme demokratis dan terbuka perlu disampaikan secara rinci kepada masyarakat. Partai Politik perlu menyampaikan informasi secara jujur atas hasil seleksi bakal calon, serta siap dikritik jika ditengarai proses seleksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hampir setiap pencalonan pada pemilu-pemilu sebelumnya, masyarakat terkena fetakompli dari sebuah proses yang sebenarnya tidak mereka ketahui prosesnya.
Kondisi diatas dapat menciptakan secercah harapan ketika dilaksanakan secara konsisten dan tanggung-jawab oleh semua pihak. Sistem politik merupakan proses pendidikan demokrasi berkelanjutan, rasanya mustahil jika kita berangan-angan bakalan terwujud secara ujug-ujug. Namun, ketika kita bisa menyadari tingkat kesulitan tersebut, rasanya melakukan diskresi politik dapat menjadi alternatif solusi untuk mendapatkan regulator serta legislator baik bukan isapan jempol.
Seseorang yang memiliki rekam jejak baik, meski tidak memiliki partai politik dan uang yang cukup tetap memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi positif bagi bangsa dan negara. Sebuah pepatah mengatakan, “Sejatinya dunia adalah sebuah tempat yang berbahaya untuk ditempati, bukan karena orang-orang yang jahat, melainkan karena orang-orang baik yang tidak melakukan apa-apa kepada dunia.” Pepatah tersebut mengingatkan kepada kita semua, untuk tidak bersikap masa bodoh terhadap orang-orang baik di sekitar kita yang ingin berbuat sesuatu untuk nusa, bangsa, dan agamanya.
Tinggalkan Balasan