Tragedi ‘65: Generasi Muda Berhak Tahu

Tragedi ‘65: Generasi Muda Berhak Tahu
Sumber foto oleh Pexels

Pandemi Covid-19 membuktikan bahwa dunia maya dan dunia nyata bukanlah dua ceruk yang terpisah dari praktik keseharian dalam kehidupan kita. Seiring hal tersebut, gerakan menolak lupa Tragedi 1965 juga turut bergejolak. Perkembangan teknologi digital memfasilitasi gerakan menolak lupa menuju arus yang menguat.

Pembatasan kegiatan di ruang publik ternyata bukan menjadi penghalang. Keterbatasan ini justru mendorong untuk beralih ke ruang virtual dengan beragam bentuk. Dalam dunia digital, peran generasi muda Indonesia terus-menerus menawarkan narasi alternatif peristiwa 1965 agar kita tidak kehilangan sejarah kelam masa lalu.

 

Tragedi 1965

Rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto tidak mengijinkan semua bentuk narasi dan tindakan yang berkaitan dengan ajaran kiri di Indonesia. Pemerintahan Soeharto aktif mengkampanyekan, bahwa seluruh yang berkaitan dengan komunis adalah sesat dan menyesatkan. Seluruh rakyat harus menghindari seluruh ajaran-ajarannya.

Pemasungan segala aspek kehidupan berlangsung secara masif, mulai dari pemberitaan media massa, buku-buku, film, hingga pendidikan formal di sekolah. Filsuf politik Louis Althusser, menyebutnya sebagai ideological state apparatus. Pernyataan itu tertuang dalam buku ideologi, berjudul Marxisme, Structuralis, Psikoanalisis, Culture Studies.

Negara menyebarkan doktrin merasuk ke dalam pikiran masyarakat hingga mereka meyakini keburukan ideologi tersebut. Melalui ideologi, negara menanamkan sebentuk kebencian kepada seseorang atau sekelompok orang yang berpotensi mengancam kekuasaannya. Dengan cara seperti itu, kemudian negara manfaatkan untuk memberangus lawan-lawan politiknya.

Pasca kejatuhan Soeharto pada 1998, muncul berbagai gerakan untuk merawat ingatan peristiwa pembunuhan massal antara 1965-1966. Muncul beberapa gerakan, seperti Museum Bergerak 65 di Yogyakarta, Komunitas Taman 65 di Bali, serta Festival Belok Kiri di Jakarta. Selain itu, beberapa akademi dan aktivis juga berusaha menguak sejarah Peristiwa 1965.

Pemasungan demi pemasungan tetap berlangsung bahkan hingga era Reformasi. Seluruh diskusi, seminar, simposium yang berlatar belakang ‘65 tetap mengalami tekanan. Di era tersebut, masih terjadi pelarangan pemutaran beberapa judul film yang dianggap menyebarkan ajaran komunis.

Terngiang dalam ingatan, pada 2017 sebuah diskusi Kudeta ’65 di Jakarta oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia berujung pembubaran diskusi. Berlanjut di 2019, terjadi pembredelan buku-buku yang “dianggap” berbau komunisme, serta pengejaran mereka-mereka yang nekat memiliki buku tersebut. Alasannya absurd, buku-buku tersebut dapat mengganggu ketertiban dan ketenteraman umum.

 

Ruang Virtual

Seiring jaman digitalisasi, saat ini gerakan menolak lupa memiliki wadah baru, salah satunya FIS 65 dengan kartografi interaktif 1965. Organisasi Young Scholars menginisiasi gerakan tersebut melalui podcast dengan mewawancarai para penyintas pelaku/saksi/pemerhati Peristiwa ’65. Gerakan tersebut juga merambah ke perpustakaan online yang mengupas berbagai artikel terkait peristiwa tersebut.

Tidak berhenti disitu, berbagai tayangan film bernuansa tragedi ‘65 dari perpsektif anak muda telah meluas di internet. Sebutlah, “A Thousand and One Martian Night” besutan Tintin Wulia, “Denoting the Generation: Youth Perspective and ’65 Tragedy” karya Studio Malya, dan Sirin Farid Stevy dan kawan-kawan, penggagas film “120 Hours in Distance”.

Ketika generasi saya hanya berfokus pada penerbitan tulisan, generasi anak saya lebih memanfaatkan keunggulan teknologi dengan suguhan karya kreatif di internet. Sebagian besar generasi anak saya terlahir jauh setelah orde baru. Orde yang telah mengubur kekerasan 1965 sembari menutup seluruh akses terhadap arsip peristiwa tersebut bagi generasi anak saya. Meskipun demikian, generasi muda tetap berupaya mengumpulkan data melalui cerita, seperti dalam forum diskusi bertajuk “Warisan Ingatan”.

Warisan Ingatan merupakan forum lintas generasi yang mengembangkan dialog berkait dengan Peristiwa 1965. Identitas peserta forum bervariasi, mulai dari akademi, penyintas, dan juga seniman. Forum menolak lupa ini relevan dengan pendapat Baskara T. Wardaya, SJ, bahwa “Ingatan adalah fenomena relasi narasi melampaui ruang dan waktu. Selain itu juga dinamis serta mampu menghubungkan individu-individu di dalamnya”.

Alternatif sejarah kelam 1965 berhasil tersaji secara virtual dalam perspektif berbeda, selain menarik, tidak kaku, juga ber-citarasa seni yang tinggi. Seluruh peserta lintas generasi hanyut dalam ruang diskusi yang menyenangkan sehingga mampu membawa perubahan makna. Kelompok-kelompok ruang virtual mampu menumbuhkan lanskap ingatan untuk memanggil kembali memori yang lama terkubur.

Melalui pelbagai media publikasi, karya-karya anak muda berhasil menarik minat pemirsa, dan mereka bisa saling berinteraksi satu sama lain. Dalam dialog virtual ini bukan hanya bercerita tentang dampak kekerasan, namun juga membangkitkan ingatan peserta melalui interaksi sehari-hari. Dunia virtual juga memudahkan seseorang mengingat kembali karena adanya jembatan lapisan masa lalu dan sekarang.

Kesimpulannya, ruang diskusi virtual mengajak kita menghadapi sebuah peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dan, dalam kaitan dengan Peristiwa 1965, ruang virtual ini dapat menjadi bentuk dari praktik memori, bukan saja sekedar medium. Karena, kelompok ruang virtual mampu menumbuhkan peristiwa yang telah terjadi secara detil meskipun arsip atau dokumennya hilang.