Konstelasi Tikus dan Kapal

Secara fisik, Tikus adalah salah satu model hewan pengerat penting dalam ilmu biologi, bahkan di beberapa negara tikus dianggap sebagai hewan peliharaan cukup penting. Di kapal, seekor tikus dianggap musuh bebuyutan bagi kru kapal karena selain dianggap sebagai hama penyebar penyakit, keberadaannya dapat mengakibatkan kapal ditolak memasuki suatu negara. Meski, di sisi lain kapal membutuhkan tikus sebagai penanda jika kapal akan mengalami tenggelam karena secara naluriah komunitas tikus tanggap risiko akan terjadi, dan rombongan meninggalkan kapal secara cepat.

Dalam dunia pelayaran, idiom tersebut disebut like rats leaving a sinking ship. Sifatnya hewan tikus lebih nyaman hidup di atas kapal karena tikus sangat takut dengan air, tapi ketika mereka merasa kondisi di kapal terancam seketika perasaan takutnya sirna lalu menceburkan ramai-ramai mencari penyelamatan ke laut. Dalam diri seekor tikus tidak ada istilah setia kawan, setia pasangan, maupun setia-setia sejenis lainnya, baginya meloncat sejauh-jauhnya membiarkan kapalnya tenggelam bersama penumpangnya merupakan sebuah keharusan.

Jika kapal diibaratkan sebagai bahtera rumah tangga terdiri seorang ayah, ibu, dan kedua anaknya, dalam konotasi positif masing-masing anggota keluarga jangan sampai menjadi tikus keluarga yang dengan mudah meninggalkan bahtera ketika akan tenggelam. Berbagai alasan yang melatarbelakangi terjadinya konflik keluarga, seperti perselingkuhan, penganiayaan anak, kemiskinan, dll dll rentan ditinggalkan anggota keluarga. Sebaliknya, seluruh anggota keluarga diharapkan untuk saling menjaga keutuhan rumah tangganya dalam suasana suka maupun duka.

Dalam skala lebih besar seperti organisasi kemasyarakatan maupun negara potensi like rats leaving a sinking ship justru semakin besar karena rentang kendali juga semakin lebar. Tanda-tanda kecil sudah mulai tampak terutama dalam eskalasi perpolitikan menjelang pemilu yang kian menghangat. Memperkuat bukti idiom diatas, banyak elit-elit politik yang awalnya pendukung rezim berbondong-bondong berpindah ke gerbong lain yang menentang kebijakan rezim yang sedang berkuasa, rekat pertemanan politik dikalahkan oleh perbedaan kepentingan.

Apakah dalam dunia perpolitikan sikap pengkhianatan dukungan ini dapat dimaafkan? Hiruk-pikuk di linimasa, praktik-praktik penggembosan gerbong politik kubu penguasa mulai terasa karena rezim dianggap gagal menyelamatkan kapal menjelang akhir kekuasaannya. Alih-alih larut dalam kekonyolan berlama-lama, maka pilihan menyeburkan diri ke laut untuk menghindari bahtera tenggelam lebih realistis.

Sri Lanka menjadi negara terakhir yang dinyatakan bangkrut, bangkrutnya negara tersebut menjadi krisis terbesar yang dialami negara yang pernah dijuluki macan tamil sejak merdeka pada 1948. Dari peristiwa tersebut memaksa mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa meninggalkan negaranya untuk mencari suaka ke Singapura seperti tikus meninggalkan kapal yang akan tenggelam. Merasa jiwanya terancam oleh aksi-aksi demo menuntut mundur dari tampuk kepemimpinan karena ia dianggap gagal mengelola Sri Lanka dengan baik sehingga menyebabkan negara bangkrut.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud negara bangkrut serta apa yang membuat sebuah negara dinyatakan bangkrut? Menurut teori, sebuah negara tidak bisa disebut bangkrut atau gulung tikar seperti perusahaan pada umumnya. Karena, negara tetap memiliki penghasilan dalam bentuk penerimaan pajak ataupun investasi, istilah bangkrut lebih pas ditujukan kepada pemerintah negara tersebut atau ketidakmampuan pemerintah dalam membayar utang negara dalam periode tertentu.

Seperti halnya individu atau perusahaan, negara kerap berhutang untuk memenuhi kewajiban melaksanakan pembangunan atau menggaji karyawan. Hutang bisa bersumber dari dalam negeri dengan menggunakan mata uang lokal atau bersumber dari luar negeri dengan valuta asing atau valas. Utang yang diterbitkan atau diperoleh dalam denominasi mata uang lokal bisa dibayar langsung dengan mata uang negara tersebut yang diperoleh melalui pendapatan pajak dan seterusnya.

Balik ke kisah tikus dan kapal tenggelam dari perspektif terbalik, secara insting tikus tidak mau kenyamanannya terusik. Alamiah tikus lebih memilih bertahan di atas geladak kapal dan baru akan terjun ke laut sebagai pilihan terakhir jika situasinya tidak aman. Analoginya, Sang Mantan Presiden semestinya tidak perlu mencari suaka kemana-mana, asalkan rakyatnya terlindungi, rakyatnya sejahtera, lebih komplit lagi rakyatnya pintar-pintar.

Belajar dari tragedi Sri Lanka diatas, bagaimana dengan negara kita tercinta Indonesia? Ratusan proyek-proyek nasional yang dibiayai dari utang luar negeri sudah cukup memprihatinkan. Ketimpangan sosial, kesetaraan semu, pembelahan dimana-mana, utang negara membubung tinggi, hukum tumpul keatas tajam kebawah, dan tanda-tanda pecahnya kongsi-kongsi politik semakin mempertajam potensi bahtera menuju tenggelam.

Mumpung belum terlalu terlambat dan mumpung masih diberi kesempatan bagi kita memperbaiki diri. Tinggalkan legacy yang baik bagi bangsa dan negara tercinta dengan jalan menyatukan seluruh komponen bangsa serta menggunakan seluruh sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Terakhir, beri ruang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri melalui penentuan kepemimpinan nasional yang adil, terpercaya, dan amanah.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo