Suasana kafe siang itu masih agak sepi. Mungkin sebagian pelanggan berakhir pekan di tempat lain. Hanya ada aku, dua pemuda di kursi sampingku, dan seorang gadis bersama seorang perempuan paruh baya. Dari bentuk wajahnya mirip. Mungkin ibunya.
Posisi tempat duduknya kebetulan di depanku tanpa penghalang, sehingga dengan mudah aku memandang wajahnya nan ayu. Bibir tipis dan hidung bangirnya merupakan perpaduan yang pas tanpa harus oplas. Cantik, tapi aku yakin kau pasti lebih cantik darinya.
Gadis itu tampak kikuk saat menyadari aku memperhatikannya. Rasanya tak ingin kubuang kesempatan ini untuk sekadar berpaling memandang yang lain. Dia menunduk usai menoleh pelan padaku dan kuhadiahi dia dengan senyumku yang termanis. Dia membalas senyumku meski hanya menggerakkan bibirnya beberapa inci.
Kutaksir kira-kira berusia 16 tahun. Posturnya yang tinggi, ramping, dan berkulit sawo matang, menambah nilai plus yang tak akan membosankan untuk dipandang. Bak sekuntum bunga, dia tampak ranum dan menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.
Duduk di kursi paling sudut adalah tempat favoritku. Laptop bututku masih menyala, tetapi aku sudah kehilangan selera untuk melanjutkan tulisan ringanku. Tiba-tiba ingin menulis puisi tentang gadis itu sekaligus melanjutkan puisi-puisi tentangmu yang sempat terhenti beberapa hari lalu. Itu pun jika moodku sedang baik-baik saja.
*
Sejak ketemu gadis itu perasaanku tak menentu. Ada bahagia, ada sedih, dan ada harapan. Aku ingin berkenalan, tapi perlukah? Apakah dengan ini mampu melupakan kepedihan masa lalu, atau justru memberiku luka baru? Apakah dengan mengenalnya mampu membangkitkan semangat dalam melanjutkan sisa-sisa hidupku? Hem, rasanya aku terlalu berlebihan.
“Kemarin aku ketemu Bulikmu. Dia sudah menimang dua cucu lucu-lucu. Maukah kau memberiku satu cucu saja sebelum aku tiada?” Kata nenekmu suatu hari setelah tahu adiknya memiliki dua cucu.
Meski halus, permintaannya bagaikan sembilu yang mengiris kalbuku lantaran selalu diulang dan diulang. Kadang ketika ada tamu, bercerita panjang lebar betapa ia sangat merindukan seorang cucu.
“Sudah tujuh tahun, lho! Joko adalah anakku satu-satunya. Kau tentu tahu hanya dia harapan Ibu,” lanjutnya dengan tenang tapi cukup membuatku seakan menjadi seorang terdakwa.
Sembari bangkit dari duduk di sampingku, aku sempat mencuri pandang wajahnya tampak tegang dan cemberut seakan ada sesuatu yang ditutupinya.
Ah! Bukan aku tak mau mengerti. Tidak seorangpun yang tidak menginginkan hadirnya generasi penerus. Aku juga menginginkan itu dan berharap tahun ke tujuh adalah tahun terakhir usahaku untuk mendapatkan kamu.
Hari-hariku begitu cepat berlalu dan hanya aku isi dengan mencari solusi. Sebagai penulis lepas di sebuah media online, aku justru lebih sering membaca tulisan para pakar yang berhubungan dengan dunia kesehatan. Lebih-lebih yang bersinggungan dengan apa yang tengah aku idap.
Sangat wajar ketika ada rasa khawatir kesulitan memiliki keturunan. Lagi-lagi, aku hanya butuh semangat dari orang-orang terkasih untuk meminimalisir rasa itu. Hingga suatu hari tabunganku habis terkuras. Aku berhenti terapi dan sudah pasrah apa yang akan terjadi.
Selama tujuh tahun dalam penantian, tak sekalipun aku absen untuk selalu memohon kepada Sang Pemilik Semesta agar diizinkan memilikimu. PCOS yang bercokol belum mau pergi, sehingga butuh perjuangan, doa, dan tindakan demi kehadiranmu. Aku nyaris putus asa.
Ayahmu mulai sering lembur, katanya. Bahkan kadang tak pulang dengan berbagai alasan sedangkan aku sudah lelah dan letih dengan diriku sendiri. Sampai suatu hari aku pingsan saat memasak di dapur.
Kata dokter, aku tengah berbadan dua. Oh, apakah ini harus segera kukabarkan pada orang-orang atau aku cukup diam? Ayahmu sudah makin jarang pulang. Nurani seorang perempuan sepertiku makin menajam. Meski begitu aku mencoba menghadapi dengan hati lapang.
Tak ada yang istimewa sejak kehamilanku. Tak ada kejutan membahagiakan yang dulu pernah aku idam-idamkan. Tubuhku melemah dan makin melemah hingga detik-detik persalinan.
*
Tak terhitung berapa puntung rokok yang memenuhi asbak di depanku. Hisapan demi hisapan hanya sebagai pelarian yang kadang tidak masuk akal. Sudah tak ada lagi nikmat yang kudapat dari sana dan hanya itu yang mampu membuatku sedikit mengurangi rasa sakit. Sakit karena aku harus membunuh rasa rinduku padamu yang setiap saat hadir.
Belasan tahun kau meninggalkanku, menyisakan duka setiap kali berjumpa dengan sebayamu. Masih sering berkelebatan di depan mataku, ketika sempat kutangkap sekilas seluruh jiwa ragaku terukir penuh di dirimu tanpa sisa.
Hanya dalam hitungan detik kau hirup udara yang biasa aku hirup. Namun, kau tak sempat mencicipi air susu ibu dan itu adalah sebuah cerita yang memilukan. Menghadirkan adegan nyata yang sangat menyakitkan saat kau pergi dalam bisu. Jantungmu bermasalah.
Aku tahu, perjuanganku melanjutkan kehidupan ini harus terus berjalan hingga ujung sebuah takdir yang sudah tercatat rapi. Kisahku tanpamu memang pilu. Namun, ada satu yang tak bisa aku ingkari dan tak bisa aku lenyapkan begitu saja dari sejarah hidupku.
Bersyukur rahimku telah terpilih menjadi tempat tumbuh kembangmu hingga sempurna menjadi insan manusia. Ibarat sebidang sawah, aku sudah membuktikan pada dunia bahwa sawahku tidak tandus dan tidak kering.
Kuputuskan angkat kaki dari kafe itu secepat mungkin. Saat kulihat ada sosok lelaki yang mendekati gadis dan perempuan itu. Aku tidak ragu dan sangat mengenalnya. Aku tak peduli entah dia mengenalku atau pura-pura tidak kenal. Dia adalah sosok yang juga telah mengukir jiwa ragamu.
Tinggalkan Balasan