Dunia Tanpa Ayah Apakah Bisa?

Ini tentang anak-anak yang bertumbuh dengan ketiadaan seorang ayah,“Fatherless” Sebuah fenomena yang dampaknya kurang dipahami oleh kalangan masyarakat Indonesia. Sebenarnya seperti apakah “Fatherless” ini? adalah sebuah fenomena ketika seorang anak melewati proses pengasuhan tanpa figur ayah di rumah. Tidak adanya figur ayah di masa pengasuhan anak dalam masyarakat Indonesia cukup sering terjadi, bahkan Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia, sebagai negara dengan banyaknya anak yang hidup tanpa figur ayah. Di Indonesia jumlah anak-anak yang harus menjalani hidup tanpa peran dan keterlibatan figur ayah cukup signifikan.

Gejala fatherless ini terjadi bukan tanpa alasan, atau hanya terjadi demikian saja dalam masyarakat kita. Banyak faktor, hingga fenomena ini muncul di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari kurangnya keterlibatan ayah selama masa tumbuh kembang dan pengasuhan, sistem keluarga yang patrilineal. Sistem patrilineal, yaitu semua urusan nak dan rumah tangga menjadi tugas ibu semata, sementara ayah hanya bertugas untuk mencari nafkah di luar rumah. Faktor lain adalah akibat dari perceraian orang tua, membuat anak harus berada pada pengasuhan salah satu figur orang tua saja. Akhirnya anak terpisahkan dari salah satu orang tua mereka.

Orang dewasa cenderung lupa, peran seorang ayah, tidak pernah bisa tergantikan. Berdasarkan data Dukcapil Kementrian Dalam Negeri, saat ini angka perceraian indonesia mencapai 3,97juta. Pada kasus perpisahan kedua orang tua, maka hak asuh anak akan jatuh pada ibu, ini membuat komunikasi dan kedekatan anak dan ayah semakin terbatas. Selain itu pertikaian orang tua yang sudah berpisah melibatkan anak pada permasalahan dua orang dewasa yang belum selesai hingga pasca perceraian. Anak memulai babak baru kehidupan, untuk bertumbuh sendiri tanpa ayah, memulai langkah kaki pertama di dunia dengan fase lebih berat.

Mereka menghadapi lingkungan sosial, sekolah, pergaulan dalam masyarakat dengan keadaan lebih “fragile” dibandingkan anak-anak dengan figur ayah secara utuh. Bayangkan saja, mereka harus menerima masalah bertubi-tubi tanpa bantuan ayah. Berbeda dengan anak yang ayahnya senantiasa hadir sebagai pendukung dan pelindung. Ada ayah yang mengarahkan bagaimana caranya menghadapi dunia kepada mereka.

Banyak anak pada akhirnya menerima keadaan hidup dalam pengasuhan ibunya atau bahkan tidak dengan keduanya, ketika orang tua sudah berpisah. Anak pada akhirnya hanyalah makhluk kecil lemah tak berdaya untuk memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Orang dewasa, cenderung tidak mempertimbangkan dampak kepada anak di masa depan, akibat hilangnya salah satu figur orang tua di kehidupan mereka. Dampak psikologis mulai dari lebih pemarah, pengaruh narkoba, percaya diri yang rendah, depresi, psikosomatik hingga berkomitmen untuk bunuh diri. Dampak psikologis ini, sebenarnya hadir dengan proses yang menyakitkan hingga akhirnya  ada di dalam jiwa mereka.

Rasa sakit yang menggerogoti alam pikiran dan jiwanya, tidak ada yang lebih menyakitkan adalah letika kedua orang tua mereka menjadi pembicaraan orang-orang. Kita seringkali melupakan bahwa, orang tua adalah kemuliaan bagi anak-anak yang dilahirkan. Ketika kejadian dalam bentuk tragedi ini berlangsung dengan proses yang lama, dan menghadirkan trauma. Perpisahan kedua orang tua menjadi gossip hangat yang dibicarakan orang dan kerabat keluarga. Anak rentan atas rasa minder dan harga dirinya terluka, alih-alih mengobati hati anak yang luka, orang tua justru healing sendiri atau malah sibuk mencari pasangan baru.

Orang tua gagal melindungi anak baik dari trauma sebelum dan setelah perpisahan. Kita harus saar bahwa lingkungan sosial merupakan tempat pertama anak menerima sampah-sampah kejiwaan. Masyarakat cenderung mencemooh anak-anak broken home, memandang rendah mereka sebagai generasi tanpa masa depan. Tanpa figur ayah di dunia ibarat anak yang luntang-lantung terhina dan disepelekan orang. Cibiran-cibiran dari masayarakat sekitar, ocehan dan ejekan menjadi keseharian. Orang tua lupa kalau perpisahan memang membuat tugas mereka sebagai pasangan telah selesai, tapi tugas orang tua seharusnya tetap berjalan. Mereka lupa untuk melindungi anak-anak dari stigma dan cibiran masyarakat, bahkan dari orang atau kerabat terdekat.

Anak merasa ditolak oleh lingkungan terdekat dan masyarakat, sekaligus ditolak oleh ayah mereka sendiri. Perasaan ditolak ini membuat anak perlahan membenci dirinya sendiri. Selain itu, ketika anak mendapatkan perundungan sekaligus pelecehan di sekolah, dan tak diketahui oleh orang tuanya. Ada banyak sekelompok anak yang suka melakukan tindakan bullying terhadap anak yang tidak memiliki ayah, sehingga anak rentan terhadap gangguan kesehatan mental. Masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan bunuh diri kemudian hadir setelah hari demi hari dilalui dengan banyak derita bathin. Dampak psikologis ini akhirnya diderita oleh anak-anak fatherless melalui proses perlukaan jiwa yang panjang.

Akibat dari sikap orang tua yang abai, tidak adanya ayah yang memuliakan anak. Sehingga sebagian dari pelaku kekerasan menjadikan anak tanpa figur ayah adalah sasaran empuk untuk dijadikan bulan-bulanan. Dampak yang disebabkan oleh fenomena fatherless mulai dari gangguan mental, hingga ketidak mampuan untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan mandiri di masa depan. Ibarat tugas atau homework yang tak pernah selesai seumur hidup bagi mereka, jika tidak ditangani dengan tepat. Penanganan ini biasanya kita sebut dengan terapi kejiwaan, konseling, hingga membutuhkan pengobatan secara medis.

Perjalanan hidup yang amat pelik, ibarat labirin dengan manusia di dalamnya yang kelelahan terengah-engah sedang mencari jalan keluar.  Fatherless ibarat lingkaran setan, penyebab kepapaan seorang anak di masa depan. Anak dengan mental yang rusak berat, adalah anak-anak yang kemudian akan menjadi manusia dewasa. Mereka akan menemukan pasangan di luar sana dan menikah, akankah peluang anak kehilangan figur ayah terulang kembali? Ketika pelakunya sendiri adalah korban dari anak-anak tanpa sosok ayah itu sendiri?

Apakah ini yang sedang berlangsung di masyarakat kita saat ini? Perlu usaha yang keras untuk memutus fenomena ini. Dengan harapan tidak ada lagi anak yang kembali mengalami fatherless di masa mendatang. Banyak cara bisa diusahakan untuk mencegah anak-anak dari fenomena kehilangan figur ayah. Usaha dalam rangka memutus mata rantai dari fenomena fatherless. Setiap orang dewasa sebaiknya menyelesaikan semua trauma masa lalu dengan tuntas, mendekatkan diri kepada pencipta, menambah keimanan dan ketakwaan. Belajar menerima diri apa adanya, mengalihkan pikiran negativ dengan kegiatan positif yang menyenangkan. Kegiatan fisik seperti olah raga juga memberikan dampak positif yaitu dapat mengurangi stress atas tekanan mental yang dirasakan. Harapan kita, banyak orang dewasa semakin sadar pentingnya ilmu tentang tumbuh kembang anak, dan  hal apa saja yang setidaknya harus dimiliki untuk menjadi orang tua. Sehingga anak diharapkan lahir dari dua orang dewasa yang sadar atas peran dan tanggung jawabnya sebagai orang tua di masa depan.