DAHSYATNYA DOA SEORANG IBU
Perkataan seorang ibu terkadang berpengaruh pada anaknya. Memolakan anak sesuai yang sering diucapkan ibu di depannya.
Dialah Payahandi, seorang anak yang perawakannya kurus tinggi dan agak slengek’an. Di awal masuk SMP seperti kebanyakan anak lainnya Handi tidak ada masalah, dia mudah beradaptasi. Darto teman sebangku Handi seorang anak yang cerdas menjadi orang yang paling membantu Handi.
Hari itu mereka berdua ke aula sekolah untuk menyetor hafalan, “Kau kenapa keliatan bete?” Darto menegur Handi. “Aku belum hafal, To, semalam aku pergi dan pulang tengah malam jadi nggak sempet menghafal,” cerita Handi. “Memang kau kemana, Ndi?” Darto balik bertanya. “Mau tau aja kau, To. Ayolah kita ke aula.” kembali Handi menyaut pertanyaan Darto.
Saat Handi dan Darto di kelas IX, mereka tidak satu kelas lagi. Handi mulai merasa tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Ini sudah terlihat ketika di kelas VIII. Sering bolos membuat Handi ketinggalan pelajaran. Ketika guru mengabsen siswa di kelas pasti akan berkata, “Handi lagi… Handi lagi yang tidak masuk sekolah. “Payah ni anak, mungkin ibunya salah ngasih nama kali ya, mengapa nama anak Handi harus diawali dengan kata payah. Tuh kan anaknya bener jadi payah deh.” kata Pak Ibnu ketika sampai di kantor guru. “Mengapa Pak Ibnu, Handi nggak masuk sekolah lagi ya?” celetuk Bu Marta.
Terkadang cap malas, bodoh, tersematkan di diri Handi bahkan ada yang menggelarinya “Lelaki tak bernyawa” karena tidak punya semangat belajar atau mungkin tidak punya keinginan untuk melakukan apapun. Di kelas 9 Handi semakin sering bolos, ini membuat walikelasnya kewalahan.
Karena sering bolos, Handi dan ibunya diminta ke sekolah. “Apa yang membuat kamu enggan ke sekolah Handi?” tanya Bu Murti wali kelas 9c. “Nggak ada apa-apa, Bu,” balas Handi. “Iya ni bu, saya sudah bangunin dan nyuruh ke sekolah tapi tetap aja nggak bangun, males katanya”. Ibu Handi ikut nimbrung. “Saya sudah nggak tahu lagi apa yang harus saya lakukan dengan anak ini. Males banget, Bu. Apalagi sejak bapaknya nggak ada, kebangetan Bu Murti, bantu ibunya aja nggak pernah, tiba-tiba udah pergi aja kemana saya nggak tahu,” seperti rel kereta api Ibu Handi berceloteh.
Setelah pertemuan pertama dan Handi dinasihati oleh Bu Murti, Handi pun rajin masuk sekolah. Tapi kemudian kambuh lagi tuh penyakit. Bu Murti berkali-kali memanggil Ibu Handi dan si ibu selalu beralasan Handi seorang anak yatim dan saya ini baru saja menikah lagi jadi masih dalam tahap menyesuaikan diri dengan suami baru, sehingga Handi jarang diperhatikan. Mungkin ini juga yang membuat dia malas ke sekolah. Ibu Handi minta tolong Bu Murti untuk mengerti dan membantu Handi. Tapi, Bu Murti sedikit kesal, janganlah alasan ini terus yang diungkapkan ketika dipanggil sekolah, pemanggilan beberapa kali tidaklah membuat Handi berubah hingga membuat Bu Murti sedikit harus keras.
Sambil membereskan meja kerjanya Bu Murti berkeluh kesah. “Sepertinya Ibu Handi nih yang mesti dirukyah atau dikirim ke psikolog.” kata Bu Murti ke Bu Nia. “Iya ya, Bu, pantesan Handi begitu tingkahnya, ibunya seorang sosialita, penampilan sih ok, tapi kok anaknya terabaikan,” celetuk Bu Nia”. “Yaaa, tugas kita membantu anak ini, Bu. Tapi, saya bingung dengan ibunya seolah lepas tangan atas kelakuan anaknya, kasihan tuh Handi, mungkinkah ibunya bisa membiarkan anak tenang belajar tanpa memikirkan masalah yang terjadi di rumah, ya,” balas Bu Murti dengan sedikit ragu.
Bu Murti bergumam sendiri, “Handi muridku dan aku akan mematahkan anggapan teman guru yang lain, jika Handi “seorang anak yang tak bernyawa”. Bu Murti ingin membantu menunjukkan jika Handi sebenarnya bisa melampau apa yang dia tidak bisa, karena setiap anak itu unik dan punya potensi, tinggal para pendidik yang harus mencari cara untuk menggali keunikan di setiap anak.
Membuat karya tulis adalah program wajib sekolah yang harus dikerjakan untuk siswa di kelas akhir, endingnya mereka harus mempresentasikan hasil karya tersebut dan diuji oleh para guru penguji secara terbuka. Tidak ada guru yang mau menjadi pembimbing Handi mengingat reputasi Handi. Akhirnya balik bandar deh.
Kembali bu Murti yang menjadi pembimbing Handi. Dengan sabar bu Murti membimbing, bukan hanya karya tulis, tapi mental dan semangat Handi pun di tempa bu Murti, berharap rasa percaya diri Handi akan muncul karena inilah modal utama Handi untuk bisa tampil mempresentasikan karya tulisnya, begitu fikir bu Murti. Dengan kesabaaran dan ketulusan hingga jungkir balik akhirnya karya tulis Handi pun selesai.
Bu Murti meminta Handi membuat power point, untuk persiapan presentasi. Handi menghampiri Darto. ” To, bantu aku membuat power point dong”, pinta Handi ke Darto. Darto akan selalu membantu temannya yang slengek’an ini walaupun tahu Handi kadang sulit mengerti. ” siap 86, kawan”, kata Darto. “tapi aku nggak punya laptop, to,” balas Handi agak sedikit gugup. ” no problem teman, kita kerjakan di labor komputer aja yuk, kau siapkan aja flashdisk, untuk menyimpan file karya tulismu”, Darto menenangkan Handi yang ragu. “Trimakasih to, kau selalu membantu aku, padahal aku katanya orang yang payah nih”. balas Handi. “Jangan mencap diri kita payah ndi, walaupun nama awalmu emang payah… handi, hehehe, canda Darto membuat Handi tersenyum dikulum.
Tiba saat Handi harus mempresentasikan hasil karyanya di depan para penguji. Perasaan Handi campur aduk, susah bernafas serasa dada terhimpit dinding, keringat dingin pun mengucur di tubuh kurusnya. Bu Murti faham keadaan Handi dan berusaha memberi semangat. “Saya terus terang gugup Bu Murti,” suara gemetar Handi terdengar sayup. “Kamu bisa, Ndi, bukannya kamu sudah minta doa dengan ibumu agar bisa tampil presentasi di depan?” tanya Bu Murti, “Iya sudah, Bu,” balas Handi. “Nah, sekarang kamu harus tenang dan percaya diri, anggap penguji dan orang-orang yang melihat kamu ujian itu semuanya patung, kamu sedang sendiri hanya berhadapan dengan saya,” perkataan Bu Murti menenangkan Handi.
Kesabaraan Bu Murti, doa ibu Handi dan keperayaan diri Handi yang mulai tumbuh untuk tampil membuat Handi berhasil mepresentasikan karya tulisnya dan berhasil lulus. Bu Murti bersyukur akhirnya bisa mematahkan anggapan “Lelaki tak bernyawa” pada Handi, ketika teman-teman guru mengucapkan selamat pada Bu Murti yang sudah behasil membimbing Handi. []
Tinggalkan Balasan