One season wonder pantas disematkan pada Partai Demokrat. Kekalahan terakhir pasca tidak terpilihnya AHY mendampingi Anies Baswedan pada pemilu mendatang, setelah sebelumnya kekalahan demi kekalahan mendera partai besutan SBY. Kemenangan satu-satunya saat menguasai panggung politik Indonesia tahun 2009, setelah itu secara beruntun partai tersebut menunjukkan trend negatif dari tahun ke tahun.
Demokrat adalah salah satu partai besar di Indonesia saat itu. Partai yang berdiri tahun 2001 dan berhasil menguasai parlemen pada Pemilu Legislatif 2004. Kesuksesan partai sekaligus mengantarkan sang penggagas, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden selama sepuluh tahun. Partai Demokrat sebagai partai baru, meski belum berusia satu dekade tampil mempesona sebagai kampiun partai tak tertandingi.
Seakan antiklimaks, kecemerlangan partai berlambang mercy hanya bertahan satu periode. Setelah kesuksesannya di tahun 2009, partai tersebut tidak pernah menempati posisi teratas di setiap perhelatan pemilu. Sepanjang Pemilu 2004, 2014, jumlah perolehan suara Demokrat terus menurun dari 21 juta, 12 juta, dan di tahun 2019 hanya memperoleh 10 juta suara sah. Lantas, bagaimana Ketum AHY dan kawan-kawan menyikapi hal tersebut?
***
Sebelum ngemeng-ngemeng lebih lanjut, mari kita lakukan refleksi kehidupan dari cerita pewayangan, tentang “Antasena Moksa”. Penggambarannya sebagai tokoh berwatak polos, lugu, serta teguh pendirian. Ia berbicara dengan siapapun selalu menggunakan bahasa ngoko, yang sekaligus mencerminkan kejujuran tanpa silau basa-basi duniawi.
Antasena adalah putra Bima yang sakti mandraguna. Ia memiliki kemampuan tiga matra sekaligus, terbang ke angkasa, masuk ke perut bumi, sekaligus ahli menyelam di air. Ksatria tersebut juga berkulit sisik udang yang berguna untuk melindungi tubuhnya dari serangan segala jenis senjata musuh.
Di balik gemerlapnya kehebatan Antasena, ia harus meninggal dalam keadaan moksa bersama sepupunya Wisanggeni yang putra Arjuna. Keduanya meninggal sebagai tumbal kemenangan Pandawa menjelang meletusnya perang Baratayuda. Saat itu, Antasena dan Wisanggeni menemui Sanghyang Wenang, leluhur para dewa untuk meminta restu kemenangan Pandawa atas Kurawa.
Sanghyang Wenang menyampaikan jika keduanya berperang, justru bisa membuat Pandawa kalah. Atas saran Sanghyang Wenang, Antasena dan Wisanggeni memutuskan untuk tidak kembali ke dunia. Kedua ksatria pandawa tersebut menyusut pelan-pelan dan akhirnya musnah sama sekali setelah Sanghyang Wenang memandangnya.
***
Moksa. Penting, bagi Partai Demokrat melakukan seperti yang dilakukan Antasena dan Wisanggeni sebelumnya. Tentu, Ketum dan Pengurus Partai yang perlu melakukan moksa tersebut, sebagai upaya meraih kembali kejayaan di konstelasi politik berikutnya. Hantaman politik menerpa partai secara bertubi-tubi mengindikasikan seperti Antasena dan Wisanggeni alami menjelang perang Baratayuda.
Sosok AHY sebagai Putra SBY cukup mewakili hubungan keluarga antara Bima dan Antasena. Kepintaran serta kekuatan AHY sebagai mantan perwira muda TNI AD mencerminkan kedigdayaan Antasena saat itu. Kejujuran tanpa basa-basi pada Antasena juga mencerminkan karakter tentara pejuang, meskipun AHY telah mengalami fase perubahan militer ke sipil.
Sebagaimana tokoh Bima yang tidak banyak berperan dalam cerita di atas, mengindikasikan peran SBY yang semestinya tidak perlu banyak turun gunung untuk mendewasakan AHY. Justru AHY-lah yang banyak berperan dalam konstelasi ini serta tidak perlu latah menunggu titah sang ayah. SBY juga tidak perlu memaksakan situasi untuk memberi singgasana bagi sang putra mahkota.
***
Definisi “Moksa” dalam konteks berpolitik, tentu bukan berarti mati lalu menghilang secara gaib.
Menjadikan partai politik sebagai simbol perjuangan rakyat tanpa terbebani dengan jabatan sudah merupakan bagian dari moksa. Membantu masyarakat yang sedang kesulitan hidup tanpa berharap balasan kebaikan dari masyarakat adalah moksa. Mengangkat setingi-tingginya Suara Rakyat sebagai Suara Tuhan, pastinya hal itu adalah moksa.
Berkoalisi dengan rakyat merupakan pilihan yang paling masuk akal ketimbang berkoalisi dengan elit politik. Menjauhi survei oleh lembaga survei, karena apapun hasilnya akan membuat partai jumawa, dan karenanya bersiaplah rakyat menjauh. Jika jabatan merupakan sarana untuk mendapatkan legacy rakyat, partai menjalankan amanah rakyat pun juga legacy. Jadi, kedudukan jabatan dan partai adalah sarana setara untuk mendapatkan legacy.
Pasca moksa, selanjutnya Partai Demokrat memasrahkan sepenuhnya kepada rakyat. Mempersiapkan diri untuk perhelatan pemilu mendatang untuk legislatif jauh lebih realistis daripada copras-capres. Kematangan seseorang memang tidak selalu diukur pernah atau tidak pernah di eksekutif, tetapi memakmurkan masyarakat justru pengalaman yang lebih sakralistik.
Hikmah dari moksa, mencalonkan figur kepemimpinan nasional tidak selalu harus dari orang dalam partai. Melimpahnya suara hasil pileg karena hasil kerja partai lebih baik, meskipun minim pengalaman dan elektabilitas. Beranjak dari itu, partai bisa menilai bahwa berjuang untuk rakyat tidak wajib menyodorkan kandidat figur populer. Dalam konteks seperti ini, sangat mungkin partai lain justru mengajak berkoalisi partai demokrat untuk mendapat manfaat suara.
Hikmah terakhir, kita kembali pada peristiwa pengkhianatan di kubu koalisi perubahan besutan Nasdem, PKS, dan Demokrat beberapa waktu lalu. Jika pada akhirnya koalisi tersebut tidak jadi mengusung AHY sebagai Cawapres Anies Baswedan, maka legowo saja dan tidak perlu memaksakan kehendak. Tetaplah membantu rakyat, sembari melakukan konsolidasi partai untuk tetap fokus pada pemilu legislatif. Mundur dari koalisi perubahan adalah pilihan paling realistis, tetap beroposisi sambil mencari pengalaman politik.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis yang Nomaden.
1 Comment