Bulan Agustus sebentar lagi berlalu. Namun, hingar bingar perayaan 17-an masih menggelora di seantero pelosok negeri tak terkecuali di kampungku. Di kota maupun di desa, suasananya seakan masih tanggal 17 Agustus. Bahkan jauh sebelum tanggal tersebut, di berbagai pelosok kampung sudah mulai meriah dengan berbagai perlombaan dari bidang olah raga hingga pentas seni.
HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun ini memang tak jauh berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Masih ada balap lari karung, makan krupuk, panjat pinang, ngemut sendok berisi kelereng, dan berbagai perlombaan ringan lainnya. Aneka jenis perlombaan tergelar di mana-mana melalui partisipasi anak-anak, remaja hingga orang tua.
Ada perasaan kurang greng, kurang nancap di hati ketika peringatan HUT RI hanya Upacara Bendera saja. Peringatan 17 Agustus tahun ini sudah berjalan selama lebih dari setengah abad yaitu 79 tahun. Perayaan melalui berbagai jenis atraksi atau pertunjukan terkesan secara menarik agar warga memiliki kesan mendalam.
Pertunjukan yang Artistik tidak Gratis
“Jer basuki mawa beya”. Pepatah Jawa ini tampaknya masih berlaku hingga sekarang. Termasuk di bulan Agustus tahun ini dan tahun-tahun yang lalu. Pepatah tersebut kurang lebih berarti bahwa setiap keinginan atau cita-cita membutuhkan biaya baik berupa uang, tenaga, dan pikiran. Untuk membuat sebuah acara sesederhana dan sekecil apa pun selalu butuh sejumlah anggaran atau dana. Demikian juga, berbagai acara terselenggara sepanjang bulan Agustus tahun ini.
Besar kecilnya biaya sebanding dengan sensasi penyelenggraan acara. Dari mana dana terhimpun? Sudah pasti dari masyarakat atau warga setempat. Untuk tahun ini saja, di kampungku, menggelontor dana dengan jumlah yang fantastis demi suksesnya acara HUT Proklamasi.
Mulai dari menyewa sound system, kendaraan besar pengangkutnya saat pawai, panggung untuk pentas seni, pelengkapan berbagai lomba, aksesoris pendukung, pengadaan hadiah-hadiah dan lain sebagainya. Dengan anggaran yang tidak sedikit, harapannya mampu menghadirkan kegembiraan, keseruan, dan hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar.
Meski seluruh dana di dapat dari masyarakat, tetapi tak menutup pintu ketika ada dermawan dari luar lingkungan ikut ambil bagian dalam pendanaan. Lebih tepatnya para sponsor yang ikut meramaikan acara. Di titik inilah kadang ada sesuatu yang sedikit melonggar, demi alasan keseruan yang menghibur.
Norma Tetap Dikedepankan Demi Kejiwaan Anak yang Rentan
Zaman semakin maju dan teknologi informasi semakin canggih. Berbagai jenis atraksi dan aneka perlombaan bisa kita adopsi dari kemajuan teknologi. Namun, harus tetap ada filter saat menjumpai sesuatu yang dari luar kelihatan bagus, seru dan keren. Misalnya, hanya karena seru, heboh dan viral, lalu tanpa berfikir panjang kita tiru, kita jiplak apa adanya, sedangkan norma di masyarakat tidak mengizinkan itu.
Bermacam jenis atraksi dan perlombaan di acara 17 Agustus makin ke sini makin banyak ragam. Meskipun begitu, kita harus tetap selektif dan tidak asal meniru walaupun sebagian warga menilainya paling seru dan lucu. Apalagi bila sudah mengarah ke hal-hal yang mengandung nilai edukatif sudah selayaknya kita dukung.
Ada beberapa jenis perlombaan di semarak 17 Agustus yang sedang viral di media sosial. Sebagian ada yang cukup memprihatinkan bagi para orang tua. Mengapa? Karena model dan jenis perlombaannya sangat tidak etis, tidak edukatif, dan cenderung mengada-ngada, hanya sekadar bertujuan unik. Unik bagi pencetusnya, tetapi entah sadar atau tidak justru berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak.
Kita tidak bisa sembarangan dalam memilih ragam perlombaan maupun pertunjukan. Hal ini karena bukan hanya kaum dewasa yang menikmati sebuah pertunjukan tersebut, tetapi anak-anak juga ikut menyaksikan. Anak-anak adalah penonton yang polos dan tak butuh pemikiran serius tetang suatu tontonan. Jika sebuah pertunjukkan sudah mulai melupakan kaidah kesopanan dan kesusilaan, efek buruk mengintai, karena ribuan pasang mata polosnya anak-anak telah merekamnya. Siapa yang rugi?
Menghibur Sekaligus Mendidik
Ada beberapa yang dengan tanpa beban dan terang-terangan secara vulgar mempertontonkan adegan dewasa di ajang perlombaan. Apa yang dicari penyelenggara acara? Agar viralkah? Apakah panitia penyelenggara perlombaan tak menyadari banyak anak kecil yang harus dijaga mentalnya? Bila kita mau, masih banyak model perlombaan keren yang bisa kita gali selain jenis lomba yang sudah ada.
Tidak hanya saat perlombaan, ketika karnaval pun hendaknya diseleksi lagi kostum atau busana para peserta karnaval. Sangat tidak lucu manakala hampir setiap kelompok peserta karnaval terdapat sejumlah personil yang dengan sengaja memakai kostum yang tidak layak. Misalnya, bapak-bapak yang mengenakan daster dengan aneka aksesorisnya dari rambut hingga ujung kaki. Dengan riasan wajah lumayan tebal mereka menari-nari di jalanan. Tidak adakah kostum lain yang lebih berkesan enak dipandang? Memang tidak bersalah, tetapi sama saja mendukung komunitas tertentu yang bagi kita itu perkara yang sangat sensitif.
Atas dasar rasa syukur, memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia wajib bagi warga Indonesia. Mengisinya dengan berbagai jenis perlombaan, karnaval, bakti sosial, aneka bazar, bahkan pentas seni dan hiburan, sah-sah saja. Namun, semua itu tentu harus ada nilai kepatutan dan etika yang perlu diperhatikan. Akan menjadi lebih berkesan ketika semua atraksi yang digelar tetap mengindahkan nilai-nilai etika dan estetika sehingga yang dilihat tetap menghibur, lucu, seru dan mendidik.
Tinggalkan Balasan