Budaya feodal menempatkan pemimpin di negeri demokrasi ini bak “setengah dewa”, sementara rakyat yang seharusnya dilayani justru sibuk melayani mereka.
Di sebuah masjid kecil di pinggiran kota, saya pernah menyaksikan pemandangan sederhana namun menyentuh nurani. Beberapa petugas sibuk menyiapkan kursi di saf paling depan.
“Untuk siapa?” tanya saya. “Untuk Pak Bupati, biar tidak rebutan tempat,” jawabnya tenang.
Saya terdiam. Bukankah di rumah ibadah semua manusia sejajar di hadapan Tuhan? Tapi di negeri ini, ruang yang seharusnya suci dari hierarki sosial pun masih memberi tempat istimewa bagi mereka yang berkuasa.
Fenomena ini bukan hal baru. Di setiap acara sosial, resepsi pernikahan, atau kegiatan masyarakat, kursi terdepan selalu tersedia bagi pejabat. Nama mereka disebut pertama, sambutannya paling panjang, dan menganggap kehadirannya sebagai “berkah” bagi acara tersebut. Ironisnya, semua itu dilakukan bukan karena aturan, tapi karena kebiasaan.
Kita hidup dalam sistem demokrasi, tapi masih berpola pikir feodal. Pemimpin yang sejatinya berfungsi melayani, justru sering memperlakukannya bak “tamu agung”, yang harus disambut dan dilayani. Masyarakat merasa bangga bisa menundukkan diri, seolah penghormatan berlebihan adalah bagian dari kesetiaan.
Kekaguman yang Menumpulkan Akal
Kecenderungan ini menumbuhkan budaya baru yang berbahaya, yaitu kekaguman yang menumpulkan akal sehat. Ketika seorang pejabat berbicara, orang tak berani menyela. Saat ia datang, semua menunduk. Waktu ia salah, semua diam.
Lebih memprihatinkan lagi, ketika mereka sudah tidak menjabat pun, rasa “pengagungan” itu tetap melekat. Bahkan terhadap mantan pemimpin yang jelas-jelas terlibat kasus hukum, masyarakat masih memberi sambutan hangat. Aparat penegak hukum pun kadang tampak ragu menindak, seolah “sungkan” terhadap status masa lalunya.
Fenomena ini menunjukkan adanya permisifisme sosial. Yaitu, kecenderungan untuk memaklumi kesalahan hanya karena pelakunya adalah sosok yang dulu berkuasa. Masyarakat kita masih menilai seseorang dari jabatannya, bukan dari integritasnya. Padahal, di negara hukum, kesetaraan adalah prinsip utama. Tidak boleh ada manusia setengah dewa. Tidak boleh mengecilkan dosa, hanya karena pelakunya mantan pejabat.
Feodalisme Emosional di Tengah Demokrasi
Secara sistem politik, kita memang sudah lama meninggalkan monarki. Namun secara kultural, sisa-sisa feodalisme masih berakar kuat. Kita hidup dalam demokrasi prosedural, tapi mentalitas kita masih feodal.
Saya menyebutnya feodalisme emosional. Sebuah kondisi ketika rasa hormat berubah menjadi pemujaan, dan sakralisasi jabatan melampaui moralitas. Memperlakukan pemimpin sebagai makhluk istimewa yang perlu dijaga martabatnya, bukan manusia biasa yang juga bisa keliru.
Akibatnya, rakyat menjadi permisif terhadap penyimpangan. Mereka enggan mengkritik karena menghindari anggapan tidak sopan. Mereka enggan menuntut keadilan karena merasa “tidak pantas” melawan pejabat. Padahal, tanpa keberanian rakyat, demokrasi hanya menjadi panggung sandiwara di mana pemimpin tampil gagah sementara rakyat bertepuk tangan.
Pelajaran dari Laut
Saya teringat nasihat seorang nelayan tua di pesisir Bali:
“Laut itu adil. Ombak besar tidak pernah pilih kasih. Entah perahu nelayan atau kapal pejabat, kalau melanggar arus, ya terguling juga.”
Kalimat itu sederhana tapi tajam. Di laut, hukum alam berlaku tanpa pandang bulu. Di darat, hukum manusia sering berbelok mengikuti status dan kepentingan. Kita perlu belajar dari laut, menegakkan keadilan tanpa melihat siapa yang berlayar di atasnya.
Warga Kelas Satu dan Harapan Kesetaraan
Paradoks sosial ini menimbulkan kesan bahwa ketika seseorang menjadi pemimpin, ia otomatis naik kelas menjadi “warga kelas satu”. Padahal, dalam demokrasi sejati, tidak ada kelas semacam itu. Pemimpin hanyalah pelayan publik (public servant), bukan tuan rakyat.
Kita perlu menata ulang cara berpikir. Menghormati tidak sama dengan menunduk. Mengkritik tidak berarti membenci. Mengingatkan bukan bentuk permusuhan.
Perubahan sosial tidak selalu bermula dari sistem besar. Memulai sikap sederhana, dan berhenti menyediakan kursi istimewa bagi pejabat di tempat umum. Biarkan mereka duduk sejajar dengan rakyat. Abaikan masyarakat menyapa tanpa rasa takut.
Menata Ulang Cara Pandang
Saya percaya, suatu hari nanti pejabat datang ke acara rakyat tanpa protokol berlebihan, duduk di kursi biasa, dan penyambutan sewajarnya. Ketika masa jabatannya usai, ia kembali menjadi warga seperti lainnya. Menghormatinya bukan karena jabatan, melainkan keteladanan.
Mungkin hari itu belum tiba. Tapi selama kita masih menyediakan kursi khusus bagi mereka yang berkuasa, kita belum benar-benar duduk sejajar sebagai manusia. Perubahan sejati bukan hanya tentang mengganti pemimpin, tetapi tentang mengubah cara kita memandang pemimpin. Sebab, demokrasi tanpa kesetaraan hanyalah panggung kosong. Pemimpin bermain peran, rakyat hanya figuran yang bertepuk tangan.
Sehingga, dari sanalah letak ujian terbesar bangsa ini. Bukan, terletak pada seberapa sering kita memilih pemimpin baru, melainkan seberapa berani kita memperlakukan mereka sebagai manusia biasa. Hanya dengan keberanian itulah demokrasi akan menemukan martabatnya sejati, yaitu ketika hormat lahir dari kejujuran, bukan dari ketakutan.












Tinggalkan Balasan