Langit masih sedikit mendung dan aroma sisa hujan mendominasi udara hari ini. Mentari seakan malas bernegosiasi antara menampakkan diri atau sembunyi. Mungkin dia tak berani melawan titah-Nya yang wajib dijalani oleh segenap makhluk sehingga menghangatkan bumi adalah tugasnya secara rutin.
Gawai pak Umar tak terhitung berapa kali berdering. Dari karyawan yang bertugas di gudang maupun dari pak RT yang diam-diam sudah bergerak layaknya detektif, dibantu beberapa aparat desa.
Wajah pak Umar menyiratkan rasa tegang. Duduk tak enak dan keluar masuk pintu berkali-kali. Bu Umar kesetrum juga. Tampak gelisah dan ada roman kebingungan di wajahnya. Dalam beberapa saat mereka membisu dan larut dalam pikiran masing-masing.
“Pak, apa yang harus kita lakukan?” Tanya bu Umar tiba-tiba dan cukup mengagetkan pak Umar yang sejak tadi menunggu kabar dari pak RT.
“Ibu tenang dulu, ini sudah ada yang menangani dan kita berdoa saja mudah-mudahan dia tetap bersama kita,” dada bu Umar berdegup kencang mendengar jawaban suaminya. Dia pandangi wajah Oi dengan penuh rasa sayang.
“Adakah yang bermaksud jahat terhadap kita, Pak,” tanya bu Umar lagi dengan suara yang bergetar menahan tangis.
Pak Umar mendekati istrinya, “Sudahlah, Bu. Bukankah segala sesuatunya sudah kita pertimbangkan? Semua sudah bapak urus, kok. Ibu berdoa saja,” pintanya.
Belum usai pak Umar menenangkan sang istri, panggilan telepon berdering lagi.
“Pak, ini hari keempat dia tidak masuk kerja, katanya mau mengundurkan diri dan pamit hendak ke luar Jawa menyusul saudaranya,” suara di seberang dari orang kepercayaan pak Umar dalam industri mebelnya. Dia melaporkan tentang salah satu karyawan yang tiga hari lalu bolos kerja.
“Ya, nanti bapak urus setelah ini,” ujar pak Umar sambil memandang bu Umar dan Oi bergantian. Seolah butuh dukungan dari orang-orang yang sangat ia cintai, hatinya benar-benar tidak tenang sebelum semua ini beres.
Handphonenya berdering lagi. Kali ini dari pak RT. “Siap! Saya di rumah, Pak.” Jawab pak Umar penuh semangat.
Baginya hari ini sangat melelahkan lahir dan juga batin. Untuk sementara urusan mebel telah ia wakilkan pada asistennya.
Di mata pak Umar keutuhan dan kebahagiaan keluarga adalah nomor satu dan harus diperjuangkan. Dia tahu apa yang harus dan akan ia lakukan. Jauh-jauh hari sudah ia persiapkan jurus-jurus sakti jika terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.
Hanya dalam hitungan menit, pak RT dan dua orang berseragam polisi datang. Bu Umar terkejut wajahnya memucat. Sambil membawa Oi masuk kamar dia sempat berkata, “Pak, tolong selamatkan dia ya, Pak,” bu Umar memohon dengan mata berkaca-kaca. Pak Umar mengangguk lalu mempersilakan tamunya duduk.
Setelah memperkenalkan diri, salah satu anggota polisi itu mulai bicara.
“Maafkan kami bila mengganggu kenyamanan Bapak dan keluarga. Tadi pagi anggota kami telah mengamankan perempuan itu dan berhasil menginterogasinya,” kata polisi kepada pak Umar. Pak RT mengangguk mengiyakan.
Pak Umar sendiri sudah siap mendengarkan apa yang akan dikatakan polisi selanjutnya. Dari dalam kamar, bu Umar merasa tak sabar ingin segera tahu siapa perempuan itu. Namun sebagai seorang ibu yang memiliki feeling kuat, bu Umar sedikit kuatir dengan prasangkanya sendiri. Dia sangat berharap hal-hal buruk tak akan terjadi.
“Dia sebagai tersangka pembuang bayi yang baru dilahirkannya, beberapa bulan lalu,” polisi itu mengatakannya dengan nada pelan.
“Tapi masih ada satu tersangka lagi yang belum kami temukan yaitu salah seorang karyawan Bapak di industri mebel,” sampai di sini pak Umar seolah tak percaya. Dia seketika ingat telepon dari anak buahnya tadi.
“Berdasarkan keterangan yang kami himpun, dialah kekasih perempuan itu sekaligus otak pembuangan bayi merah tersebut,” lanjut polisi yang membuat seisi rumah cukup terkejut.
Pak Umar menghela napas dan bu Umar menangis terisak dalam kamar sembari memeluk Oi. Dia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh tamunya. Pak RT dan pak Umar sudah menduga dan yakin hal ini tetap akan terungkap.
“Hari ini juga kami mohon Bapak ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut,” pinta polisi sebelum berpamitan.
Bu Umar masih berurai air mata. Dia tak ingin kehilangan Oi yang ditemukannya tengah menangis kedinginan dalam sebuah kardus di depan pintu, menjelang subuh beberapa bulan lalu. Bayi merah yang masih lengkap dengan ari-arinya itu membuat orang-orang tahu kapan dia dilahirkan dan seisi kampung pun gempar dibuatnya.
“Bapak pergi dulu, Bu. Percayalah semua baik-baik saja,” hibur pak Umar sebelum keluar rumah bersama kedua polisi dan pak RT. Dia mengelus punggung bu Umar lalu membelai kepala Oi dengan lembut dan menciumnya penuh kasih.
Perasaan bu Umar campur aduk. Kendati bagai mimpi, bu Umar bersyukur dengan hadirnya Oi. Dia terlanjur menyayangi bak darah dagingnya sendiri. Dipeluknya Oi erat dan berharap akan tetap bersama sampai kapanpun. Dia tak peduli siapa nanti yang dipanggil ibu oleh Oi, dirinya atau perempuan bergaun ungu.
Tamat.
Baca juga :
Yuk ikuti terus linimasa CAPTWAPRI.ID agar tidak ketinggalan informasi menarik lainnya.
1 Comment