Pelabuhan Tua
Di sudut kota kecil yang terlupakan, terdapat sebuah pelabuhan tua yang memancarkan kesan sunyi. Udara di sana dipenuhi aroma asin laut yang bercampur dengan wangi kayu lapuk dari dermaga yang semakin renta. Dahulu, pelabuhan ini menjadi jantung kehidupan, tempat kapal-kapal megah bersandar, membawa barang dan cerita dari berbagai penjuru dunia. Namun, waktu mengubah segalanya. Kini, pelabuhan itu sepi, tersisih oleh pelabuhan modern yang lebih besar di sisi lain kota.
Bagi Nara, pelabuhan tua ini adalah lebih dari sekadar lokasi bersejarah. Ia adalah tempat kenangan terukir. Setiap sore, Nara duduk di ujung dermaga, memandang jauh ke cakrawala yang bercahaya keemasan. Ia terus menunggu, bukan hanya waktu, tapi juga sesuatu, atau mungkin seseorang.
Dua dekade silam, Nara kehilangan ayahnya di pelabuhan ini. Sang ayah, seorang kapten kapal kecil pengangkut hasil laut, berjanji akan kembali sebelum senja, membawa oleh-oleh untuk putrinya. Namun, kapal itu tidak pernah kembali. Hingga kini, keberadaannya tetap menjadi misteri.
Dermaga Tua
Suatu malam, saat bulan purnama memancarkan sinar terang, pelabuhan yang biasanya sunyi mendadak terasa hidup. Nara terbangun oleh suara lonceng kapal yang asing. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia bergegas ke dermaga dan terkejut melihat sebuah kapal besar yang bersandar di sana. Kapal itu tampak megah, seperti berasal dari masa yang telah lama berlalu.
Di dek kapal, seorang pria tinggi berjubah panjang berdiri. Wajahnya terlihat samar di bawah cahaya bulan, namun ada sesuatu yang membuat Nara merasa akrab. Dengan suara berat dan dalam, pria itu memanggil namanya.
“Nara,” katanya pelan. “Aku datang untuk menepati janjiku.”
Nara terdiam, terpaku. Suara itu adalah suara ayahnya. Tapi bagaimana mungkin? Waktu seolah berhenti saat pria itu mendekat dan menyerahkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya terdapat sebuah kompas tua, dengan jarum yang terus bergerak tanpa arah yang pasti.
“Kompas ini akan membawamu menemukan jawabannya,” ujar pria itu sebelum kembali ke kapal. Dalam sekejap, kapal itu memudar seperti kabut yang tersapu angin, meninggalkan Nara yang diliputi kebingungan dan rasa ingin tahu.
Peta Tua dan Kompas Tua
Keesokan paginya, Nara memutuskan untuk mengikuti arahan kompas tersebut. Ia menaiki perahu kecil, membiarkan jarum kompas memimpin perjalanannya. Kompas itu membawanya ke sebuah pulau terpencil yang penuh dengan reruntuhan kuno. Di sana, ia menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga: buku catatan ayahnya, lengkap dengan peta dan pesan terakhir.
Pesan itu mengungkapkan rahasia yang mengubah segalanya, ayahnya terperangkap di dunia lain, di antara kehidupan dan kematian, karena sebuah janji yang belum ia tepati. Janji itu adalah untuk selalu kembali kepada keluarganya. Dengan petunjuk yang tertulis di buku itu, Nara harus memutuskan apakah ia sanggup mengambil risiko untuk menyelamatkan ayahnya.
Perjalanan baru saja dimulai, dan Nara menyadari bahwa pelabuhan tua ini bukan hanya tempat untuk mengenang. Ia adalah pintu gerbang menuju petualangan yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Akhir yang belum diketahui: Akankah Nara berhasil menyelamatkan ayahnya? Atau pelabuhan itu akan tetap menjadi saksi terakhir dari janji yang tak pernah terwujud?
Dengan menggenggam buku catatan ayahnya, Nara mempelajari peta tua yang tergambar di sana. Ada tanda silang di salah satu titik, dikelilingi simbol-simbol aneh. Di bawahnya tertulis pesan: “Gerbang antara kehidupan dan kematian tersembunyi di perairan ini. Hanya mereka yang memiliki keyakinan yang mampu membukanya.”
Nara memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kompas antik di tangannya terus berputar, jarumnya memantulkan sinar matahari yang cerah. Ia mendayung perahunya lebih jauh ke tengah lautan, meninggalkan pulau itu dengan campuran rasa penasaran dan cemas. Namun, langit yang semula terang tiba-tiba diselimuti awan gelap. Ombak pun mulai menggulung lebih besar, membuat perahu kecilnya bergoyang tak terkendali.
Perjalanan Baru
Di tengah lautan, mendadak muncul pusaran air besar yang tampak seperti jurang tak berdasar. Kompas di tangan Nara mulai bergetar hebat, seperti menunjukkan bahwa ia telah sampai di tempat yang dituju. Tanpa ragu, ia menggenggam kompas erat-erat dan membiarkan perahunya tersedot ke dalam pusaran. Segalanya berputar dengan cepat di sekelilingnya, hingga akhirnya kegelapan menyelimuti.
Saat Nara membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di dunia yang asing. Laut di sekitarnya terlihat tenang, dengan air berkilau keperakan yang memantulkan cahaya bulan, meskipun matahari masih tergantung di langit. Di kejauhan, ia melihat sebuah dermaga kecil yang menyerupai pelabuhan tua yang akrab baginya. Bedanya, dermaga ini bersinar lembut, seperti terbuat dari kristal.
Di ujung dermaga, berdirilah sosok ayahnya. Ketika itu, wajahnya jelas memancarkan kehangatan dan kerinduan. Dengan air mata yang mulai menggenang, Nara berlari ke arahnya. Namun, sebelum ia bisa menyentuhnya, ayahnya mengangkat tangan, menghentikannya.
“Nara,” ujar sang ayah lembut. “Kau telah menemukanku. Tapi ini bukan tempatmu.”
“Ayah, aku ke sini untuk membawamu pulang!” Nara berseru dengan suara gemetar.
Ayahnya tersenyum dengan kesedihan yang mendalam. “Aku terdampar di sini karena janji yang belum kutunaikan. Kau telah memberiku kesempatan untuk menyampaikan apa yang penting. Kini, kau harus kembali.”
“Tidak! Aku tidak bisa meninggalkan Ayah!” Air mata Nara mulai tumpah.
Sang ayah menggeleng. “Jika kau tetap tinggal, kau akan kehilangan seluruhnya. Yakinlah aku akan selalu bersamamu, dalam hatimu, dalam ingatanmu.”
Perlahan, pemandangan di sekeliling Nara mulai memudar. Suara ayahnya bergema, menyampaikan pesan terakhir: “Hiduplah dengan bahagia, Nara. Itu cara terbaik untuk mengenangku.”
Nara tersadar kembali di dermaga tua, kompas di tangannya kini berhenti berputar. Walau air mata tetap membasahi pipinya, ia tersenyum. Ia tahu, ayahnya telah memenuhi janjinya.
Dermaga tua itu kini bukan lagi tempat penantian, melainkan awal perjalanan baru.
Tinggalkan Balasan