Sore yang sedikit mendung. Sebelum pulang dari rumah teman, aku diajak mampir dulu ke sebuah warung kopi sederhana di dekat rumahnya. Kukatakan sederhana karena hanya berupa serambi dari sebuah bangunan rumah limasan, tetapi kelihatan sangat terawat. Lokasinya agak tersembunyi, sebagian terhalang oleh sebuah bangunan ruko dan pohon rindang di samping warung.
Itu kesan pertamaku dan ternyata aku salah. Setelah aku mendekat, di samping kiri dan kanan rumah tersebut berjajar rapi puluhan motor yang terparkir di situ. Ada juga beberapa mobil. Wah, mainku kurang jauh nih, pikirku.
Hampir semua meja dan kursi penuh dengan pengunjung warung. Rata-rata mereka masih muda meski ada beberapa generasi bapak dan embah-embah. Semuanya menikmati kopi dan gorengan yang tersedia di warung. Siapa pun bisa mengambil gorengan sesuka hati dalam piring lalu dibawa ke meja masing-masing.
Seakan tak terganggu dengan para pengunjung lain, mereka ngopi sambil ngobrol, main game, main catur bahkan hanya duduk sebagai penonton temannya yang sedang bermain. Mereka tampak benar-benar menikmati suasana warung yang tenang tak berisik. Pengunjung baru pun merasa nyaman ketika memasuki area warung. Wajah-wajah ramah menyambut walau tanpa kata-kata.
Pantesan banyak pengunjung di warung ini. Pasutri pemilik warung sangat ramah sat set melayani dan terkesan memberi kebebasan bagi para pengunjungnya. Apakah mau ngopi saja, makan, atau nunggu teman, tak akan ada yang melarang. Bebas.
Hembusan angin dari pepohonan rindang di sekitar warung membuat udara terasa adem, nyaman hingga lupa dengan jumlah gorengan yang sudah disantap. Tidak hanya kaum Adam, tetapi kaum Hawa juga hadir di sini. Masing-masing membawa topik obrolan yang beragam.
Kopi yang Mampu Melahirkan Inspirasi
Kopi memang tak pernah mati. Hari ini, tak hanya orang-orang tua penikmat kopi. Dari remaja hingga manula, kopi sudah akrab dan menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai kebutuhan manusia sehari-hari. Terlepas dari dampak positif atau negatif kopi, sejujurnya penikmat kopi saat ini justru meningkat.
Kopi andalan di warung ini adalah jenis kopi lokal pilihan yang proses pembuatannya masih memakai cara lama. Yakni digoreng lalu ditumbuk sendiri atau digiling. Aroma harum nan sedap yang menguar kala diseduh membuat para penggemar kopi sejati ketagihan. Bisa jadi inilah yang menjadikan warung kopi tersebut makin banyak pengunjungnya.
Dua gelas kopi telah hadir di hadapanku bersama sepiring gorengan tape dan pisang. Temanku pesan kopi plus susu manis sedangkan aku kopi tanpa gula. Hanya ingin mencoba sensasi kopi asli yang ada di warung ini. Meski tanpa gula, ada pait-pait nikmat yang aku khawatirkan mungkin bisa menjadi semacam candu. Namun, yang tak kalah penting di sini, aku merasa yakin dari aroma dan nikmat kopi mampu melahirkan inspirasi.
Kenangan Masa Kecil tentang Kopi
Di sela menikmati kopi sembari ngobrol ringan tiba-tiba aku ingat masa kecilku yang selalu menunggui ibu saat menggoreng kopi sebelum digiling. Digoreng di wajan yang terbuat dari tanah hingga berwarna hitam sedikit gosong. Baunya harum.
Aku masih memperhatikan ketika kopi ditumbuk secara tradisional menjadi bubuk halus. Aromanya tak bisa aku lupakan hingga dewasa. Rupanya sejak saat itulah aku merasa ada sesuatu yang tersimpan di memoriku bahwa kopi itu nikmat aromanya. Ya, aroma, karena saat itu belum berani minum kopi. Dalam kacamataku kopi hanya untuk orang dewasa, ibu bapak dan atau tamu-tamu yang datang.
Cerita tentang kopi masih berlanjut. Kapan hari itu aku harus mengambil jeda waktu bermainku dengan teman-teman yang biasa datang ke rumah. Bukan apa-apa, hanya karena ada semacam kewajiban yang harus aku tunaikan ketika bapak atau ibu kedatangan tamu. Ya, aku harus membuat minuman untuk tamu yang kadang hanya seorang, di lain waktu ada beberapa yang datang bersamaan.
Meskipun masih duduk di kelas 5 SD, aku sudah terbiasa membuat minuman untuk tamu. Ibulah yang mengajariku bagaimana membuat secangkir kopi atau teh, berapa ukuran gulanya, dan seberapa panas air yang dibutuhkan. Aku merasa senang melakukannya. Apalagi ketika tamunya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, hatiku senang dan berbunga-bunga.
Aku akan kembali bermain saat “tugasku” selesai. Di antara teman-teman bermainku ada yang heran, kok aku sudah bisa membuat minuman “berat” seperti itu? Apakah harus secepat itu membuat minuman untuk tamu? Inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan dalam keluargaku bahwa setiap ada tamu harus dihormati minimal segera dibuatkan minuman.
Pada waktu itu belum ada aneka jenis minuman kekinian seperti sekarang. Mau kopi dengan aneka rasa, kini semua tersedia. Dulu, kopi ya hanya kopi hitam mau manis atau pahit. Teh juga demikian, mau tawar atau manis, panas atau dingin. Semua dengan pilihan yang terbatas.
Kafe-kafe Tumbuh Subur Bak Jamur di Musim Hujan
Zaman semakin maju, ada berbagai varian minuman baik dari kopi, teh atau minuman jenis lain. Dari kopi saja sudah tak terhitung jenisnya. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki kopi unggulan dengan rasa yang khas. Namun, di sini penulis tidak akan membahas tentang kopi secara detil. Biar diulas para ahlinya pada kesempatan lain.
Kini, kafe-kafe kopi kekinian tumbuh subur di hampir seluruh pelosok negeri. Di kampung-kampung maupun di kota. Tak terbatas usia penikmatnya. Walau demikian, warung-warung kopi tradisional tetap eksis meski banyak kafe-kafe kekinian bermunculan dengan berbagai daya tariknya. Mereka maju bersama dalam menggaet para pelanggan dengan ciri khas yang ada.
Dampak korona beberapa waktu lalu ternyata mampu melahirkan ide-ide brilian dari sekelompok pemuda atau perorangan. Waktu luang yang ada tak disia-siakan. Di sekitar tempatku tinggal ada beberapa yang mencoba membuka kafe kecil sederhana dengan minuman andalan kopi. Sasaran utamanya tentu teman sendiri, para pemuda. Dari sinilah akhirnya mereka menyukai kopi dan berlanjut hingga sekarang.
Kesan bahwa kopi identik dengan minuman para kaum sepuh kini telah terbantahkan. Bahkan ada kecenderungan hampir setiap remaja sudah pernah mencicipi apa itu kopi. Diakui atau tidak, kadang dari segelas kopi mampu melahirkan sesuatu yang tidak pernah terlintas di pikiran.
Misalnya, dari yang awalnya hanya ingin menyeruput kopi di kafe atau di warung, bertemulah sesama penikmat kopi. Entah pemula maupun penikmat sejati. Dari pertemuan demi pertemuan, ada semacam obrolan ringan tentang suatu objek tertentu yang berujung pada hal-hal yang positif. Bisa jadi dari sana pula lahir ide-ide cemerlang sebagai bahan tulisan atau diskusi.
Dampak Positif yang Ada
Walau hanya di warung kopi sederhana, dari para pengunjungnya tak bisa dimungkiri memberi kesan ada keakraban yang terbentuk. Tali persaudaraan atau persahabatan bisa lebih erat. Bertambahnya jumlah teman dan hal-hal positif lainnya kemungkinan bisa lebih dikembangkan dari sini. Mungkin bisa juga berbagi info-info penting antar pengunjung. Entah tentang pekerjaan, tentang pendidikan, dan lain sebagainya.
Di warung kopi inilah, temanku berbagi pengalamannya bagaimana cara dia bangkit dari keterpurukan pasca korona. Juga berbagi kiat-kiat perjuangannya dalam mengembalikan kejayaan usaha mebelnya yang sempat terdampak covid. Dia bersyukur ekspor mebel mulai ada titik cerah.
Ah, tiba-tiba aku sadar kopiku tinggal seteguk. Pisang goreng di tangan tinggal satu gigitan. Para pengunjung warung di kanan kiriku masih asyik ngobrol ngalor-ngidul sesekali tertawa lirih. Sebagian ada yang fokus bermain catur dan aku lirik kopi mereka sudah tinggal gelasnya saja. Beberapa remaja di sebuah sudut ruangan masih ketawa-ketiwi sambil memandang ke sebuah laptop. Mungkin menonton stand up komedi.
Tinggalkan Balasan