Unjuk yang Tidak Rasa

Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM beberapa waktu lalu adalah suatu kebijakan yang tidak bijak, disaat bangsa dan negara kita baru saja keluar dari Pandemi Covid-19 yang cukup mencekam selama hampir 2 tahun lebih. Seakan belum sempat bernafas lega kita sudah dihadapkan pada kenaikan BBM, dan seperti biasanya jika BBM naik pasti akan diikuti dengan naiknya harga produk lain dari semua sektor, bahkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan minyak bakar pun latah ikut-ikutan naik. Dan, seperti biasanya setelah pengumuman kenaikan, selalu dibarengi dengan unjuk rasa seluruh komponen masyarakat untuk menolaknya, seakan menjadi adat kebiasaan.

Keresahan dikalangan rakyat kecil tak terelakkan lagi, pedagang-pedagang kecil juga takut berdagang karena tidak mau dagangannya terkena imbas dari demo yang kadang berakhir rusuh. Pertanyaannya, efektifkah unjuk rasa yang dilakukan? Berhasilkah? Menurut sumber tempodotcom, fenomena harga pertalite dan pertamax setidaknya 4x naik sejak Maret 2018 hingga September 2022, jadi setidaknya masyarakat telah empat kali berunjuk rasa. Lalu, sepanjang yang saya ingat rasanya tetap bertengger tak bergeming.

Demo yang kita lakukan sebenarnya gak ngefek sama sekali sebagaimana Pepatah Jawa, rebut balung tanpo isi, alias aksi yang sia-sia. Tanpa kita sadari, keruh situasi ini justru dimanfaatkan beberapa gelintir orang, berunjuk aksi heroik menentang kenaikan yang tanpa didengar. Lagi-lagi, rakyat kecil hanya bisa menjalani dan menyiasati hidup yang terus berjalan dengan tertatih-tatih bahkan terinjak dan tergilas.

Suka tidak suka, kita tetap akan mengalami dan menjalaninya, karena bagaimanapun juga sampai dengan saat ini kita masih sangat bergantung pada bahan bakar minyak dalam kehidupan sehari-hari, entah untuk kebutuhan rumah tangga hingga bahan bakar transportasi menuju tempat kerja. Marilah sekarang kita coba untuk berfikir jernih agar kita tidak terbelenggu dalam budaya yang tidak bermanfaat, kita coba untuk menyiasati situasi dengan cerdas, Allah sudah memberikan karunia kepada kita berupa akal dengan gratis dan tidak akan pernah ada kenaikan harga sewa Akal, kita hanya diminta untuk bersyukur saja dengan semua karunia ini.

Kenaikan BBM terjadi tidak genap 10 kali sejak tahun 2010 hingga saat ini dan Harga BBM tertinggi setelah kenaikan kali ini adalah Pertamax yang harganya mencapai rp.14.500/liter.

Bagi seorang perokok kita coba untuk berfikir dengan membandingkan harga  sebungkus rokok, saat ini harga rokok termurah adalah Rp.15.000/bungkus dan coba kita lihat kenaikan harganya tidak usah jauh-jauh kita mulai saja dari tahun 2019 sampai saat ini sudah berapa puluh kali mengalami kenaikan harga, tidak sebanding dengan jumlah kenaikan BBM.

Yang lebih sederhana lagi coba dibandingkan dengan biaya kebersihan toilet berapapun tarif BAK dan BAB di toilet umum yang harus kita bayar ya kita bayar  .

Dalam setiap kenaikan harga rokok, tarif toilet umum mana pernah kita  berdemo, seandainya budaya demo pasca kenaikan BBM itu terjadi kepada kenaikan harga rokok dan tariff toilet mungkin kegiatan sehari-hari kita hanya demo, demo dan demo tanpa sempat memikirkan yang lain bisa jadi kita tidak sempat lagi ganti baju, apa situasi ini yang kita harapkan ? Pasti jawabannya TIDAK jika tidak sebaiknya kita mulai untuk tidak melakukan hal yang sia-sia.

Daripada kita disibukkan untuk mempertahankan budaya yang sia-sia, akan lebih baik waktu kita dipakai untuk memikirkan suatu hal yang positif dan menyiasati hidup agar kita tetap bisa survive dalam menghadapi segala situasi dengan berkarya, bersyukur dan tanpa lelah untuk berdoa kepada yang Maha Kuasa..

DS.Ajie – Penulis Nyeleneh