Tang, ting, tang, tung, terdengar sayup-sayup tak jauh dari rumah suara alat musik pukul semacam saron mini dari Jawa. “Dek, itu ada topeng monyet di lapangan samping rumah Pak RT. Mau liat gak, dek,” celetuk si bibi pengasuh kepada anak bungsuku. “Ena mau liat topeng monyet, bi,” jawab si balita dengan gembira. Bergegas mereka menuju ke lapangan kecil melihat atraksi topeng monyet.
Peristiwa itu terjadi sekitar sebulan lalu. Tontonan topeng monyet memang menjadi pertunjukan yang langka saat ini di Jakarta. Mengingat hal tersebut sudah dilarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2014.
Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk pencegahan dan penularan zoonosis atau penyakit bersumber binatang yang bisa menular kepada manusia atau sebaliknya, sekaligus untuk melindungi monyet-monyet kecil yang dieksploitasi untuk mengamen. Namun, nyatanya masih ada saja satu-dua orang pelaku atraksi topeng monyet yang masih berkeliaran di kawasan pemukiman penduduk di Jakarta.
Tontonan monyet mungil yang dipaksakan untuk tampil lucu, dipakaikan baju yang imut, mengendarai sepeda mini, becak, memakai topeng reog, hingga mendorong gerobak. Pertunjukan itu memang ditampilkan agar penonton bisa terhibur dan tertawa. Hiburan kaki lima yang disukai kebanyakan anak-anak, termasuk kedua anak saya, si tengah dan bungsu.
Atraksi topeng monyet mengingatkan bahwa kita (manusia) satu ordo atau bangsa loh! Dengan kata lain, kita ini satu bangsa dengan kera dan monyet dari jenis mamalia sebagaimana didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. Sebagai satu bangsa, tapi koq ya masih banyak manusia yang suka menindas, menyiksa, memanfaatkan, bahkan hingga mengonsumsi jenis primata lainnya.
Konon katanya manusia diposisikan menjadi spesies berkasta tertinggi dibandingkan primata lainnya. Akan tetapi, keserakahan manusia atas pemikiran dan tingkah polahnya kerapkali mengancam kelangsungan hidup dari makhluk hidup lainnya.
Entah itu, kerusakan lingkungan, kepunahan spesies, kelangkaan bahan pangan, hingga wabah penyakit. Kontestasi wabah penyakit zoonosis memang selalu mencuri perhatian untuk ramai dibicarakan.
Perjalanan Panjang Penyebaran Penyakit Cacar Monyet
Di saat pandemi COVID-19 yang berkepanjangan ini masih berlangsung, hadirlah persoalan cacar monyet yang mulai menggeliat. Baru-baru ini, WHO mendeklarasikan cacar monyet sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian dunia internasional (public health emergency of international concern) pada tanggal 23 Juli lalu.
WHO sendiri melaporkan bahwa sejak ditemukan pertama kali pada 6 Mei 2022 di Inggris, penyebaran cacar monyet di dunia terus meluas dan banyak terjadi di negara non endemis cacar monyet. Data terakhir pada tanggal 27 Juli, dilaporkan sebanyak 17.156 orang di 75 negara dikonfirmasi terinfeksi cacar monyet, dimana 69 diantaranya bukan negara endemis cacar monyet. Spanyol menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak disusul Amerika Serikat dan Perancis.
Disarikan dari website WHO dan Kementerian Kesehatan bahwa cacar monyet sendiri disebabkan oleh virus human monkeypox (MPXV) orthopoxvirus dari famili poxviridae yang bersifat highlipatogenik atau zoonosis. Penyakit ini biasanya berlangsung selama 2−4 minggu dengan gejala demam > 38°C dan timbul ruam selama 1-3 hari. Konfirmasi monkeypox hanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium diantaranya menggunakan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) dan/atau sekuensing.
Virus Ini pertama kali ditemukan pada monyet di tahun 1958. Pada saat itu ditemukan wabah penyakit mirip cacar yang menyerang koloni monyet yang dipelihara untuk penelitian, hal tersebut yang menyebabkan penyakit ini disebut sebagai cacar monyet atau monkeypox.
Kasus cacar monyet pertama yang menginfeksi manusia tercatat pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo. Sejak saat itu, kasus cacar monyet dilaporkan telah menginfeksi orang-orang di beberapa negara Afrika Tengah dan Barat lainnya seperti Kamerun, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Liberia, Nigeria, Republik Kongo, dan Sierra Leone.
Infeksi Monkeypox di Afrika, telah ditemukan pada banyak spesies hewan: tupai pohon, Gambian giant rat, tikus bergaris, dormice dan primata. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi reservoir yang tepat dari virus Monkeypox dan bagaimana virus tetap bertahan di alam. Pada kasus yang terjadi di Amerika Serikat, kasus pertama tertular dari prairie dog (hewan eksotis jenis rodent yang dipelihara), yang diduga terinfeksi virus Monkeypox tikus yang berasal dari Afrika.
Perlunya Komunikasi Risiko untuk Mencegah Penularan dan Kepanikan Monkeypox
Di dalam pencegahan dan pengendalian cacar monyet di Indonesia, penting kiranya mengaktifkan komunikasi risiko yang dilakukan multisektor di setiap level kewilayahan. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Lalu, unsur-unsur apa saja yang perlu dipenuhi di dalam komunikasi risiko ini untuk mengomunikasikan, menginformasikan, mengedukasi, serta memberdayakan masyakat.
Lalu, bagaimanakah mengaktifkan komunikasi risiko untuk mencegah dan mengendalikan penularan cacar monyet di Indonesia? Dikutip dari “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Monkepox” yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan pada bulan Mei 2022, di dalam komunikasi risiko cacar monyet ini, unsur pertama yang dilakukan adalah menunjuk juru bicara (jubir) yang memiliki kewenangan dan kapasitas, serta dapat bekerja sama dengan baik.
Kedua, menetapkan khalayak mana yang menjadi target strategi komunikasi risiko. Audiens yang berbeda akan mendapatkan pesan melalui media/cara yang berbeda. Ketiga, terkait dengan pesan yang akan disampaikan. Dalam hal ini, berisikan informasi mengenai cara penularan, gejala, tindakan pencegahan, dan cara penanganan jika ada infeksi yang dicurigai/dikonfirmasi (suspected, probable, confirmed).
Keempat, tentukan saluran/media komunikasi yang efsien dan efektif untuk penyebaran informasi. Utamakan menggunakan saluran komunikasi resmi yang dimiliki oleh instansi/lembaga pemerintah (website, media sosial, atau call center). Bisa juga melalui publikasi media berbayar.
Keenam, libatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat setempat, influencer, komunitas pemerhati kesehatan untuk melakukan upaya komunikasi, informasi, dan edukasi pencegahan dan pengendalian cacar monyet. Dan, unsur terakhir adalah penanganan hoaks cacar monyet dengan memantau isu di masyarakat. Cegah dan tangani hoaks dengan cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya kepanikan, maupun stigmatisasi/diskriminasi masyarakat kepada penderita/kelompok rentan.
Menghadapi cacar monyet ini, dari pandemi COVID-19 yang masih berlangsung, kita bisa belajar bagaimana mengomunikasikan dan menginformasikan hal-hal yang baik dan benar tentang coronavirus, tidak mudah terpancing hoaks, saling bahu-membahu agar wabah penyakit terkendali dan segera berakhir.
Oleh karena itu, di dalam komunikasi risiko untuk menanggulangi cacar monyet ini, semua orang dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat berkontribusi untuk mencegah terjadinya penularan cacar monyet, memerangi hoaks, hingga meredam kepanikan dan stigmatisasi jika terjadi kasusnya.
Jadi, waspada monkeypox boleh, panik jangan donk ya! Yuks, selalu terapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Protokol kesehatan selalu dijaga ya, gaes!
Penulis : Dwi Handriyani
Sumber foto cover : Andre Mouton, Pexels
Tinggalkan Balasan