Pentingnya Sosialisasi Hukum pada Masyarakat

Oleh :

Askari Pasha Haqqoni

(Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran)

“Jika suatu hukum ditetapkan, maka masyarakat dianggap tahu”, demikian pernyataan hakim yang menjatuhkan vonis lima bulan penjara kepada seorang kakek berusia 61 tahun di Malang. Vonis ini berkaitan dengan kasus Pak Piyono, yang ramai diperbincangkan setelah menerima hukuman penjara karena memelihara ikan aligator.

Pernyataan hakim tersebut secara tidak langsung menegaskan berlakunya asas Ignorantia Juris Non Excusat (ketidaktahuan hukum tidak dapat dijadikan alasan). Sistem hukum yang berorientasi pada asas ini, sejatinya berusaha mencegah individu ataupun kelompok tertentu untuk menggunakan ketidaktahuan sebagai alasan yang dapat dibenarkan saat melakukan pelanggaran.

Meskipun demikian, statement hakim terkesan terlalu simplistik dan tidak realistis karena mengabaikan bagaimana konteks sosial dan pendidikan yang berlangsung di masyarakat.

Misalnya, pada kasus ini, Pak Piyono mengaku bahwa tidak mengetahui adanya peraturan yang melarang untuk memelihara ikan tersebut. Ia mengaku telah memeliharanya bahkan sebelum undang-undang tersebut diberlakukan.

Hal tersebut menunjukkan adanya tantangan yang lebih luas dalam sistem hukum agar aturan perundang-undangan dapat menjangkau masyarakat yang kurang teredukasi dan kesulitan mendapatkan akses informasi yang berkaitan dengan perubahan produk hukum.
Sosialisasi Undang-Undang.

Pemerintah, terutama pemerintah daerah, punya peranan penting untuk mengatasi tantangan tersebut dan berperan aktif dalam menyosialisasikan ketentuan yang berlaku kepada masyarakat di setiap daerahnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah: undang-undang ini menekankan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan dan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Termasuk sosialisasi peraturan yang relevan kepada masyarakat di tingkat daerah.
Peran pemerintah daerah sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah pusat akan berjalan dengan baik, jika perencanaan komunikasi sudah terpetakan secara matang.

Pemerintah daerah tahu betul bagaimana konteks sosial dan budaya lokal yang berlangsung di daerah-daerah tertentu. Ini menjadi langkah awal bagi pemerintah daerah untuk melakukan komunikasi publik yang berorientasi pada pembentukan persepsi sosial dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Menurut Windahl, Signitzer, & Olson (2009) komunikasi publik adalah interaksi dan penyampaian informasi dari komunikator kepada khalayak yang melibatkan strategi komunikasi tertentu untuk mencapai efektivitas dalam penyampaian pesan, baik melalui media massa, media sosial, maupun komunikasi tatap muka.

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam komunikasi publik, seperti segmentasi audiens dan bahasa. Dalam model komunikasi “Who Says What in Which Channel to Whom” yang dikenalkan oleh Harold Lasswell menunjukkan pentingnya aspek “to Whom” atau siapa yang menerima pesan.

Artinya, dalam komunikasi publik pemahaman terhadap profil, segmentasi audiens, dan penggunaan bahasa yang sesuai akan menentukan cara penyampaian yang paling efektif.

Kedekatan antara pemerintah daerah dan masyarakat, sebenarnya merupakan tahap awal untuk menentukan segmentasi audiens yang hendak dituju. Segmentasi audiens memungkinkan pemerintah untuk memahami kebutuhan dan preferensi berbagai kelompok dalam masyarakat.

Contohnya, bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam infrastruktur dan teknologi, seperti wilayah pedalaman dan terpencil, penyampaian informasi secara langsung dengan tatap muka bersama audiens, tentu akan lebih efektif daripada melalui platform media sosial.

Kemudian bagi masyarakat yang sebagian besar masih berprofesi sebagai nelayan, penyampaian hukum tentang perikanan dan kelautan harus menjadi perhatian utama.

Lantas bukan berarti, hukum-hukum lainnya tidak perlu disosialisasikan. Akan tetapi, jika mayoritas masyarakat bahkan tidak mengetahui pelanggaran yang mereka lakukan, bagaimana dengan sebagian kecil dari mereka.

Singkatnya, pemerintah perlu menarik perhatian masyarakat setempat dengan menyosialisasikan hukum terkait aktivitas yang akrab dengan mereka.

Selain segmentasi audiens, bahasa dan simbol yang digunakan dalam komunikasi publik juga sangat penting. Pemerintah dapat menggunakan bahasa daerah untuk menyosialisasikan produk hukum dan mengemasnya dalam bentuk pesan yang lebih sederhana.

Nantinya hal tersebut  dapat dipahami oleh masyarakat awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum.
Simbol-simbol yang relevan dengan konteks sosial masyarakat setempat juga dapat meningkatkan antusiasme dan menumbuhkan budaya partisipatif masyarakat dalam proses penetapan hukum.

Contohnya, di daerah pertanian seperti Sumatera Utara, penggunaan simbol kerbau atau alat pertanian tradisional dapat digunakan dalam sosialisasi hukum agraria.

Hal tersebut dapat membantu masyarakat untuk lebih mudah memahami konsep-konsep hukum terkait lahan, terutama yang terkait dengan dengan hak dan kewajiban mengelola tanah.

Komunikasi Publik yang Inklusif
Komunikasi publik dengan strategi yang inklusif, membantu pemerintah membangun kesadaran akan hukum pada lapisan masyarakat dengan menyampaikan pesan-pesan hukum yang terasa lebih dekat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Inilah yang disebut sebagai konstruktivisme atau pembentukan persepsi sosial. Pembentukan persepsi sosial menekankan bahwa realitas sosial merupakan hasil dari proses komunikasi antarindividu dalam masyarakat.

Dalam konteks komunikasi publik, pemerintah harus memahami bahwa persepsi masyarakat terhadap informasi yang disampaikan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hal yang dinamis atau berubah-ubah.

Maka dari itu, dengan melibatkan unsur, simbol, dan bahasa, yang berlaku di daerah tertentu, secara tidak langsung pemerintah sedang berupaya untuk melakukan pendekatan yang menarik bagi masyarakat secara berkesinambungan guna membentuk realitas masyarakat yang tahu dan taat akan hukum.

Ketidaktahuan memang tidak dapat menjadi alasan yang mampu membebaskan para pelanggar dari jeratan hukum. Akan tetapi, pernyataan tersebut perlu direnungkan kembali dengan melihat bagaimana konteks sosial yang berlangsung di masyarakat.

Produk hukum dan perubahannya tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.Contohnya, pada kasus yang menimpa Pak Piyono menunjukan bahwa sosialisasi produk hukum diperlukan untuk menjangkau serta mewujudkan masyarakat yang taat akan hukum.

Pemerintah, khususnya pemerintah daerah punya peranan penting untuk membangun kesadaran masyarakat setempat melalui komunikasi publik yang bersahabat dengan masyarakat.

Jangan sampai masih banyak orang yang tidak tahu soal produk hukum dan perubahannya. Jangan sampai ketidaktahuan juga berarti ketidakadilan bagi masyarakat.

 

*)Askari Pasha Haqqoni lahir di Bekasi pada tanggal 15 Juli 2006. Sekarang tengah menempuh pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, yaitu Universitas Padjadjaran dengan menjadi mahasiswa dari Fakultas Ilmu Komunikasi dan Program Studi Ilmu Komunikasi kampus Universitas Pangandaran. Selama 3 tahun belakangan, penulis banyak disibukkan untuk mengikuti perlombaan menulis, baik dalam bentuk esai, artikel, dan puisi. Penulis sangat tertarik dengan isu pendidikan, hukum, sosial, ekonomi, dan lingkungan, terutama yang terjadi di Indonesia. Untuk korespondensi email yang digunakan [email protected] dan untuk komunikasi sehari-hari penulis dapat dihubungi melalui kontak 081293434560.

Foto :Tribun Jatim

Editor: Fataty