Rama berdiri di pinggir pantai, memandangi ombak yang bergulung tanpa henti. Angin laut menerpa wajahnya lembut, menyebarkan aroma asin yang membangkitkan kembali ingatan masa kecilnya. Kini, di usianya yang tak lagi muda, Rama tak menyangka akan kembali ke tempat ini, pantai yang selalu ia rindukan dalam kesunyian.
Dulu, sebelum mengenal gemerlapnya kota, ia menghabiskan masa kecil di desa nelayan ini. Ayahnya seorang pelaut, begitu pula kakeknya. Sehingga, mereka adalah anak-anak laut, menyatu dengan angin dan ombak, menjelajah samudra luas hanya untuk kembali saat senja ke pantai ini yang tenang.
“Rama, sini!” seru Pak Tua Darma dari perahu kecilnya yang bergoyang-goyang di tepi pantai. Dia sahabat lama ayahnya dan satu-satunya orang yang tersisa dari masa lalu Rama.
Rama tersenyum tipis, melambai, lalu berjalan mendekat. Ia naik ke perahu dan duduk di samping Pak Tua Darma. Dari kejauhan, laut terbentang luas tanpa batas. Rama, yang lama menghindari laut, kini membawanya damai. Perahu itu mulai meluncur perlahan, mengikut irama lembut ombak. Di bawah sinar senja yang memudar, kilau ribuan bintang seolah memenuhi lautan.
“Kamu tahu, Rama,” kata Pak Tua Darma sambil menatap cakrawala yang luas, “laut selalu menunggu kita kembali. Sejauh apa pun kita pergi.”
Pada awalnya, Rama hanya terdiam, matanya mengikuti riak kecil di permukaan air. Kemudian dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu benar. Dan, laut adalah rumah yang tak pernah pergi, rumah yang selalu terbuka bagi mereka yang tersesat. Akhirnya, Ia pun meninggalkan pantai ini demi mengejar mimpi besar, demi menjangkau dunia yang lebih luas daripada desanya. Namun sekarang, di hadapan hamparan laut yang damai, ia merasa kecil kembali.
Mereka berlayar semakin jauh dari pantai, dan segala sesuatu di belakang mulai samar. Hanya ada ombak, angin, dan mereka berdua di atas perahu kecil itu. Rama merasa seolah waktu berhenti. Suara ombak adalah musik tenang yang mengisi kekosongan hatinya.
“Kau menyesal?” Pak Tua Darma bertanya tiba-tiba.
Rama menggeleng, meski butuh beberapa saat sebelum ia menjawab, “Mungkin aku hanya rindu. Ada sesuatu yang tertinggal di sini, sesuatu yang tak tergantikan, bahkan dengan semua yang kuraih di kota.”
Pak Tua Darma mengangguk, memandangnya dengan bijak. “Laut akan selalu memanggil kita pulang, Rama. Apa pun yang kita kejar, pada akhirnya, kita akan kembali ke tempat kita berasal.”
Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan langit gelap berhias bintang-bintang yang mulai bermunculan. Suara ombak dan desiran angin malam seakan menemaninya dalam duduk keheningan. Di atas perahu itu, Rama merasa damai, seolah-olah beban di pundaknya perlahan meringan.
Akhirnya, Pak Tua Darma berkata, “Laut adalah cermin bagi kita, Rama. Saat kita terluka, laut menyembuhkan. Saat kita bahagia, laut merayakan. Dan saat kita lelah, laut mengingatkan kita untuk pulang.”
Rama memejamkan mata, merasakan sejuknya angin malam menyentuh wajahnya. Ia sadar, pada akhirnya, sejauh apa pun pergi, ia tetap bagian dari laut. Selalu memikat, selalu menarik, laksana ombak yang datang dan pergi, namun tak pernah benar-benar meninggalkan pantai.
Ketika perahu berbalik menuju pantai, Rama tersenyum. Ia merasa bebas, lebih bebas dari yang pernah dirasakannya selama ini. Di pantai nanti, ia akan melangkah dengan ringan, karena kini, ia menemukan rumahnya kembali.
Saat perahu mulai mendekati pantai, Rama memperhatikan ombak-ombak kecil yang pecah di sekitar perahu mereka, menciptakan buih putih yang dengan cepat lenyap terbawa arus. Pikirannya melayang ke masa kecil, ketika untuk pertama kalinya ayahnya mengajarinya mendayung. Kenangan itu tampak begitu jelas, seperti sebuah film yang diputar ulang dalam ingatannya. Rama hampir bisa mendengar lagi suara tawa ayahnya yang penuh semangat saat mengajarinya, membimbing setiap gerakannya, dan menyemangatinya ketika perahu kecil mereka hampir terbalik.
Pak Tua Darma menyentuh bahunya, mengembalikan Rama ke saat ini. “Rama, tahu tidak kenapa dulu ayahmu enggan meninggalkan desa ini?”
Rama mengangguk perlahan. “Ia bilang, di sinilah ia menemukan ketenangan,” jawabnya. Kini, makna kata-kata itu terasa lebih dalam. Di balik keheningan laut dan langit, ada ketenangan yang sukar ditemukan di tempat lain.
“Benar,” ujar Pak Tua Darma sambil tersenyum samar. “Di sini, kita bebas. Bukan bebas dari aturan atau hiruk-pikuk, melainkan bebas menjadi diri sendiri.” Pak Tua Darma memandang langit yang semakin gelap, dan di balik senyumnya, tersimpan kebijaksanaan yang hanya dimiliki mereka yang hidup bersama laut.
Rama merenungi kata-kata itu dalam diam. Di kota, ia selalu merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ia berusaha mendapatkan banyak hal, karier yang sukses, rumah mewah, dan pengakuan. Tapi di atas perahu kecil ini, dengan laut yang tak pernah menuntut apa pun, ia merasa lebih dekat dengan dirinya yang sejati.
“Pak Tua,” panggilnya lirih, “mungkin aku terlalu lama mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh kuinginkan.”
Pak Tua Darma menoleh, memandang Rama dengan penuh pengertian. “Itu hal yang biasa, Rama. Kita semua, di satu titik, pernah mencari sesuatu di luar sana. Namun seperti ombak yang selalu kembali ke pantai, kita pun akan kembali ke hal-hal yang benar-benar penting.”
Rama memejamkan matanya sejenak, membiarkan suara ombak dan angin menyatu dalam dirinya. Saat itu, ia merasa lebih damai dibandingkan tahun-tahun yang telah lalu.
Ketika perahu akhirnya menyentuh bibir pantai, Pak Tua Darma turun lebih dulu, mengulurkan tangannya membantu Rama turun. Rama menerima bantuan itu, namun tiba-tiba tersadar bahwa ia bukan lagi anak kecil yang tersesat. Ia sekarang adalah seseorang yang akhirnya memahami tempatnya.
Mereka berjalan menyusuri pantai dalam diam. Pasir dingin lembut di telapak kaki mereka, sementara bintang-bintang bersinar terang di langit malam. Laut seolah menyanyikan lagu perpisahan yang tenang, seakan merestui keputusan Rama untuk pulang.
Sesampainya di ujung pantai, Pak Tua Darma kembali menepuk pundaknya. “Rama, jika suatu saat kamu merasa lelah atau bingung, ingatlah bahwa laut akan selalu menyambutmu. Ombak tak pernah menolak siapa pun yang datang, seperti pelukan ibu yang setia menunggu anaknya pulang.”
Rama tersenyum dan mengangguk. Kata-kata itu begitu hangat, menyentuh hatinya. “Terima kasih, Pak Tua,” ucapnya dengan suara bergetar. “Terima kasih sudah mengingatkan arti rumah yang sesungguhnya.”
Pak Tua Darma tersenyum lebar, wajahnya berseri di bawah sinar bulan. Tanpa banyak kata, mereka pun berpisah. Rama menyusuri jalan desa dengan perasaan yang lebih ringan.
Dalam hati, ia tahu mungkin suatu hari ia akan kembali ke kota, melanjutkan hidup dan menghadapi tantangan. Namun kali ini, ia tidak merasa terbebani. Ia sadar bahwa kapan pun ia ingin kembali, laut akan selalu menunggu dengan setia.
Malam itu, Rama menyadari bahwa ia telah menemukan bagian dari dirinya yang hilang, bagian yang selama ini tenggelam di balik ambisi. Dan saat ia menoleh untuk terakhir kali, melihat laut yang luas di bawah langit malam, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah melupakan panggilan lembut dari ombak yang mengingatkannya pada jati diri dan rumah yang sebenarnya.
“Sebab laut bukan hanya membawa kenangan, tetapi juga membawa kita pulang, mengingatkan dari mana kita berasal”
Tinggalkan Balasan