Menilik Intrik Politik

Menilik Intrik Politik
Sumber Foto : Pexels

Tahun politik tidak afdol kalau tidak ikut-ikutan ngomong politik. Akhir-akhir ini jutaan tatap mata tertuju pada fenomena pinang-meminang pasangan capres-cawapres untuk konstelasi pemilu mendatang. Sebutlah pasangan Anies-Imin, Ganjar-Mahfud, lalu gelagatnya Prabowo akan menggaet Gibran.

Ibarat 3 komposisi kimiawi, apakah di antara mereka telah terjadi chemistry satu dengan lainnya, wallahualam bissawab. Pastinya yang tampak di permukaan, percampuran itu semakin mempertegas tidak adanya lagi sekat antara pendukung maupun oposisi rezim. Keseluruhannya telah membaur berasal dari dua unsur berbeda membentuk unsur baru yang bukan dari keduanya.

Sedari awal Pak Anies menyodorkan diri sebagai tokoh pembaharu, tiba-tiba melebur dengan Cak Imin dari gerbong pendukung rezim. Menyusul, Pak Ganjar berpasangan dengan Pak Mahfud yang saat deklarasi keduanya masih aktif di pemerintahan. Ketiga Pak Prabowo, yang tanda-tanda kuatnya mengarah ke Mas Gibran yang adalah putra penguasa pemerintahan saat ini.

Dari konfigurasi politik tersebut, sangatlah jelas antar kandidat akan berjuang mati-matian untuk saling mengalahkan. Jika konstelasi putaran pertama berhasil mendapatkan kampiunnya, maka tidak berefek, tapi bila terpaksa dua putaran, efeknya sangat terasa. Bagaimana tidak? Sangat mungkin Anies-Imin menjadi pemenangnya.

***

Bagi penggemar film, teman-teman pasti tidak asing dengan film berjudul My friend the Enemy. Film itu bercerita tentang persaingan tiga orang pengacara yang saling menggugat di sebuah firma hukum G-Lawyer. Ketiganya bekerja sebagai para legal dalam Departemen Hukum Keluarga. Persahabatan ketiga pengacara Nick, Wan, dan Beam akhirnya berantakan sejak mereka bersaing ketat memperebutkan dua posisi pengacara di keluarga tersebut.

Kisah pecahnya persahabatan di antara mereka, sangat mungkin bisa menimpa para kontestan capres-cawapres kita. Sudah sama-sama kita tahu, pada awalnya Pak Ganjar dan Mas Gibran berasal dari gerbong ceruk yang sama. Logikanya, dari keduanya hanya akan muncul satu calon yang akan dipasangkan dengan cawapres dari mitra koalisi lainnya.

Kondisinya kian ruwet saat Pak Jokowi memberi restu pada Mas Gibran untuk mendampingi Pak Prabowo. Sedangkan kita tahu, gerbong yang mengusulkan Pak Prabowo berseberangan dengan gerbong yang memperjuangkan Pak Jokowi hingga menjadi Presiden. Sebuah situasi yang sedari awal hanya terdiri dari dua poros (Perubahan vs Kesinambungan), tiba-tiba berkembang menjadi tiga poros.

Sisi lain, kondisi ini justru menguntungkan kubu Anies-Imin, apalagi kalau masuk putaran kedua. Saat ini secara psikologi politik, Bu Megawati pasti sangat marah menyaksikan anak asuhnya telah berkhianat. Situasi semakin memburuk ketika cucu politiknya, Mas Gibran juga ikut menyeberang ke kubu Prabowo.

Pada putaran pertama, saya meyakini ketiga pasangan akan sama-sama fight untuk memperoleh pemenang satu dan dua. Nah, bila ternyata kubu Ganjar-Mahfud tidak lolos putaran kedua, haqqul yaqin seluruh pendukungnya akan mendorong kemenangan untuk Anies-Imin. Prediksi dukungan ini cukup masuk akal, mengingat “kemarahan” Bu Megawati terhadap pengkhianatan para mantan petugas partainya.

***

Narasi di atas hanyalah prediksi orang awam politik seperti saya, bila ending ceritanya sama dengan My friend the Enemy, berarti saya bernasib mujur. Namun bagi rakyat, ingat pesan iklan konsumen sebuah produk, “Teliti sebelum membeli”. Ketelitian sebelum menyoblos kandidat penting, agar kita mendapat pemimpin yang mampu membangun harapan lalu mewujudkannya.

Belajar dari pengalaman, seharusnya etikabilitas menjadi prasyarat mendesak sebelum memilih calon. Hal ini penting, sebab pemimpin akan digugu dan ditiru, bukan saja oleh rakyatnya sendiri melainkan masyarakat dunia. Perihal etika, sejak sekarang mudah terbaca, caranya memperoleh peran, siapa yang tersakiti, kata dan perbuatan senada tidak? Silakan rakyat menilai.

Pengalaman berikutnya kapabilitas, jika malas tinggal search google saja, lalu pastikan konsistensi rekam jejak dari waktu ke waktu. Mereka telah berbuat apa untuk negri ini, ceile sok nasionalis aku ini, tapi percayalah! Jangan lupa, lacak juga asal-usul pendidikannya, mereka besar atas perjuangan sendiri atau dibesarkan orang lain, tenar atau tenar karena aji mumpung. Dan, masih banyak lagi.

Pengalaman terakhir elektabilitas, kata orang penting, tapi bagi saya sunah alias tidak wajib. Mengapa? Teman-teman mungkin pernah terjebak oleh popularitas, populer karena pemilih teman-temannya sendiri, populer karena telah berdonasi, hingga terpaksa populer. Tak terasa sudah panjang lebar saya mengoceh, segera saya akhiri saja, sembari ngudo roso (buka rasa), maka pilihlah dengan hati nurani, dan ingat jangan mau dipaksa-paksa.