Perselisian KSAD Jenderal Dudung Abdurachman dengan Politikus PDIP Effendi Simbolon bermula dari rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR RI dengan Pimpinan Tinggi TNI. Ketidakhadiran KSAD dalam RDP tersebut menjadi bulan-bulanan serangan Effendi Simbolon kepada Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang hanya didampingi KSAL, KSAU, dan Wakil KSAD. Berbagai isu disampaikan oleh Sang Politikus dalam kesempatan itu, mulai dari TNI layaknya gerombolan mirip organisasi masyarakat, disharmoni hubungan Panglima TNI dan KSAD, ketidakpatuhan, serta pembangkangan di tubuh TNI.
Berbagai media dan mata kamera meliput peristiwa tersebut sehingga dalam waktu yang sangat cepat berita tersebut menyebar di tengah-tengah masyarakat. Suasana sidang yang seharusnya mencerminkan pranata kata dan kalimat berdasar fakta empiris tiba-tiba berubah menjadi seperti pergosipan selebriti, remaja, perselingkuhan di kalangan ibu-ibu. Di tengah-tengah dunia pergosipan yang berkonotasi negatif, ternyata saat ini justru menjadi bagian penting di kehidupan sosial politik.
Ceruk politik dan dunia kerja masih milik kaum lelaki. Hasil survey mengejutkan, enam puluh dua persen perempuan bergosip, tujuh persen laki-laki bergosip, dan sisanya tiga puluh satu persen menunjukkan lelaki dan perempuan bergosip bersama-sama. Penelitian ini dianggap mematahkan mitos lelaki yang tadinya dianggap tidak suka menggosip, ternyata laki-laki memiliki intensitas gosip sama dengan perempuan.
Dengan gesture dan mimik seadanya tidak cukup menyampaikan pesan ke lawan bicara dengan lancar tanpa perantara bahasa yang baik, dan dari bahasa inilah percakapan gosip ini muncul. Bahasa telah berevolusi yang memungkinkan sekelompok orang bergosip. Sejak dulu hingga kini, gosip dianggap sebagai penyampaian informasi sosial yang bisa dipercaya atau tidak, mencari keuntungan semata, dan informasi hoax.
Sejak abad enam belas hingga delapan belas di Inggris Kuno, gosip bermakna perempuan membantu proses persalinan perempuan lainnya. Sesudah abad delapan belas gosip bermakna negatif ditandai dengan perburuan penyihir oleh tentara kerajaan Eropa Kuno saat itu. Setelah mengalami beberapa kali perubahan ejaan, istilah gosip selanjutnya diartikan permanen sebagai pembicaraan yang tidak berguna.
Alih-alih, gosip yang awalnya dituduhkan pada praktik sihir santet bergeser menjadi diskriminasi perempuan. Inilah awal mula setereotip negatif terhadap gosip perempuan. Paradoksnya, sepanjang abad tujuh belas hingga delapan belas gosip berkembang di kalangan kaum lelaki melalui percakapan kedai kopi di Inggris. Saat itu, kedai kopi dianggap tempat eksklusif pertemuan para lelaki terpelajar lagi hedon hanya sekedar mengobrol sembari pamer intelektualitas. Nyaris tanpa perempuan di obrolan para lelaki tersebut, kecuali peramu dan pelayan kedai.
*
Suatu waktu saya tanya pendapat beberapa teman laki-laki tentang gosip di tempat kerja, kebanyakan dari mereka senada dengan jawaban “Saya bukan orang yang suka menggosip, tapi ….” Kemudian, mereka meneruskan dengan bicara panjang lebar tentang bagaimana mereka menggunakan gosip secara strategis dan politis. Dari peristiwa wawancara ringan tersebut menguatkan pendapat bahwa bukan saja perempuan yang suka menggosip melainkan laki-laki juga sama meskipun dibungkus dengan percakapan yang lebih serius.
Dalam sebuah acara keluarga, saya tidak ingin berbicara tentang hal-hal pekerjaan, kecuali ngobrol-ngobrol yang berkaitan cerita keluarga. Beberapa anggota keluarga terutama yang laki-laki ternyata justru lebih merespon percakapan tentang pekerjaan meski dalam suasana keluarga. Dengan semangat berapi-api mereka menceritakan hal-hal yang saya anggap serius, meskipun mereka malu untuk menyatakan bahwa mereka sedang bergosip. Supaya tidak merusak keakraban keluarga, saya pun akhirnya hanyut dalam ritual mendengarkan gosip secara sabar.
Tidak hanya di keluarga, kebanyakan orang menghimbau agar tidak menggosip di tempat pekerjaan. Hal ini tidak bisa lepas dari penilaian negatif pergosipan dari sebagian besar masyarakat, meski semestinya gosippun bisa bermakna positif seperti penggalangan empati terhadap peristiwa keteraniyakan yang dialami seseorang. Contoh gosip positif, di beberapa media televisi pernah menayangkan sebuah acara kemanusiaan sejenis reality show lah kira-kira.
Terkadang gosip juga menjadi ekspresi keprihatinan terhadap hal atau perilaku yang tidak etis. Semisal, ketika terjadi kasus tentang pelecehan seksual tapi tidak ada yang angkat bicara, padahal sudah banyak yang mengetahuinya. Dan, ketika topik yang digosipkan adalah tentang adanya praktik buruk dalam suatu organisasi, gosip harusnya menjadi sinyal peringatan dini bahwa ada hal yang harus diperhatikan, bukan justru dikaburkan.
Saya tidak kepengen mengatakan semua gosip itu baik adanya. Malahan di beberapa kasus gosip dapat merusak reputasi seseorang dalam organisasi, perundungan misalnya, tentu bukan sesuatu yang baik karena merugikan orang lain. Disini, kontrol etika seseorang bekerja untuk memutuskan boleh tidaknya bergosip.
*
Gosip, atau chika-chika, adalah gaya hidup di Filipina, sebutlah seorang Cababan yang bekerja di sebuah agen visa. Dia ingin memastikan sendiri apakah gosip itu benar, sambil berpura-pura mencari tempat untuk cuci tangan dia melihat-lihat area memasak si pedagang. Dan, dia menemukan ember berisi air yang jelas-jelas didapatkan dari keran, bukannya wadah yang diisi ulang di stasiun air mineral.
Kekhawatiran Pak Cababan atas risiko makanannya kemasukan bakteri penyakit dari air leding mendorongnya menegur istrinya, Bu Cababan. Teguran yang dirasakan istrinya secepat kilat menyebar kemana-mana. Meski akhirnya, Pak Cababan menyadari lebih baik lapor kasusnya ke pihak berwenang agar tidak jadi isu. Gosip seringkali dipandang ecek-ecek atau dimusuhi, tetapi ia dapat berguna untuk kelompok tertentu.
Istilah gosip telah mengalami pergeseran. Awalnya, adanya anggapan gosip sebagai sumber masalah, tapi kini gosip dapat menjadi cara untuk menunjukkan masalah dibalik masalah. Perselisihan Effendi Simbolon dengan Jenderal Dudung Abdurachman semakin mempertegas peran positif dari gosip, sejak berita perselisihan digaungkan secara cepat menjalar percakapan “persaingan” dari obrolan warung kopi, warung tegal, hingga ruang diskusi resmi. Dan, ketika saat ini masyarakat menikmati keakraban mereka kembali, kita baru menyadari peran gosip positif di masyarakat.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo
Tinggalkan Balasan