Menjaga Laut di Tengah Diplomasi

Menjaga Laut di Tengah Diplomasi
Sumber Foto: AI

Indonesia sebagai negara maritim selalu menghadapi dilema besar. Bagaimana memanfaatkan laut sebagai sumber daya strategis sekaligus menjaga kedaulatan di dalamnya. Belakangan ini, perjanjian maritim dengan Tiongkok kembali menjadi sorotan publik. Perjanjian yang tampaknya membuka peluang kerjasama ekonomi dan infrastruktur maritim justru memantik tanda tanya besar. Apakah kepentingan bangsa dan laut kita benar-benar terlindungi?

Laut: Aset Strategis yang Rentan

Laut Indonesia bukan hanya jalur transportasi atau ruang ekonomi, melainkan juga arena geopolitik. Kita berada di persimpangan samudera yang separuh perdagangan dunia melaluinya. Laut Natuna Utara, misalnya, bukan sekadar kaya minyak dan ikan, tetapi juga simbol kedaulatan. Persinggungan dengan Tiongkok melalui klaim nine dash line sudah berulang kali menimbulkan gesekan.

Ketika pemerintah menandatangani perjanjian maritim baru, masyarakat bertanya-tanya, apakah ini bentuk penguatan kedaulatan atau justru celah kompromi?

Janji Manis Investasi

Tiongkok menawarkan investasi besar. Mulai pembangunan pelabuhan laut dalam, industri galangan kapal, hingga kerjasama penelitian kelautan. Dari sisi ekonomi, tentu tawaran ini menggoda. Kita meyakini, bahwa dengan infrastruktur kuat, dapat mempercepat distribusi logistik, mendukung tol laut, serta memperbesar peluang ekspor.

Namun, sejarah mengajarkan kita untuk berhati-hati. Banyak proyek infrastruktur di berbagai negara berkembang dari bantuan Tiongkok, berakhir dengan beban utang besar dan ketergantungan jangka panjang. Bagi Indonesia, risiko ini berlipat karena bukan hanya mempertaruhkan neraca ekonomi, tetapi juga wilayah laut dan sumber daya di dalamnya.

Potensi Konflik Kedaulatan

Persoalan utama bukan pada investasi, tetapi pada implikasi jangka panjang. Apakah perjanjian itu memberi ruang kapal riset Tiongkok beroperasi di laut kita? Bagaimana data kelautan yang terkumpul tetap menjadi milik Indonesia? Apakah pembangunan pelabuhan oleh dana asing akan sepenuhnya negara kuasai? Atau, perlahan bergeser ke kepemilikan pihak lain?

Sejarah sengketa Laut Cina Selatan memperlihatkan bahwa Tiongkok tidak segan menggunakan kekuatan ekonomi sebagai pintu masuk pengaruh politik dan keamanan. Bila kita lengah, kedaulatan maritim bisa tergerus sedikit demi sedikit tanpa terasa.

Diplomasi versus Realisme

Sebagian pihak menilai bahwa perjanjian ini bagian dari strategi diplomasi, keep your enemy close. Dengan menjalin kerjasama, berharap dapat menekan tensi konflik. Namun, diplomasi yang sehat harus berjalan sejajar dengan realisme. Tanpa batas tegas, diplomasi bisa berubah menjadi jebakan.

Indonesia perlu memastikan setiap butir perjanjian selaras dengan hukum laut internasional, khususnya UNCLOS 1982 yang jelas menolak klaim sepihak Tiongkok. Jangan sampai kesepakatan kerjasama justru dimanfaatkan untuk memperkuat legitimasi klaim yang kita tolak.

Suara Nelayan dan Pesisir

Opini publik sering kali terfokus pada tataran geopolitik, padahal kelompok yang paling terdampak justru nelayan kecil. Mereka yang sehari-hari melaut di Natuna, Sulawesi, atau Maluku sering menjadi saksi langsung kehadiran kapal asing. Laporan intimidasi, pengusiran, bahkan konflik fisik di laut sudah berulang kali terjadi.

Pertanyaannya, apakah perjanjian maritim ini melibatkan suara mereka? Jika hanya berisi angka investasi dan proyek besar tanpa mendengar nelayan, maka kerjasama ini akan timpang. Kedaulatan laut bukan hanya urusan garis batas, tetapi juga keberlangsungan hidup masyarakat pesisir yang menjaga laut dari generasi ke generasi.

Jalan Tengah yang Harus Ditempuh

Indonesia tidak mungkin menutup diri dari kerjasama internasional, termasuk dengan Tiongkok. Dunia saat ini saling terhubung, dan pembangunan maritim membutuhkan dana serta teknologi besar. Namun, jalan tengahnya harus jelas:

  1. Transparansi Perjanjian – Publikasi dokumen perjanjian harus terbuka, sehingga rakyat tahu apa yang dipertaruhkan.
  2. Penguatan Penegakan Hukum Laut – Investasi tidak boleh mengurangi kewenangan aparat kita untuk menindak pelanggaran di laut.
  3. Keterlibatan Komunitas Lokal – Nelayan, akademisi kelautan, hingga LSM lingkungan harus bersatu dalam pengawasan.
  4. Diversifikasi Mitra – Jangan hanya bergantung pada satu negara. Kerjasama dengan Jepang, Korea, Uni Eropa, atau bahkan percepatan dengan negara ASEAN lain untuk mengurangi risiko monopoli pengaruh.
  5. Pendidikan Maritim – Transfer teknologi nyata perlu mengimbangi Investasi asing agar SDM maritim kita semakin berdaulat.

Menggugah Kesadaran Maritim

Opini ini tidak untuk menolak kerjasama internasional, melainkan mengingatkan bahwa laut adalah napas bangsa. Tanpa laut, Indonesia hanyalah gugusan pulau terpisah. Dengan laut yang berdaulat, kita adalah poros maritim dunia.

Perjanjian maritim dengan Tiongkok bisa jadi peluang, tapi juga ancaman. Kuncinya ada pada sejauh mana kita memegang kendali atas laut kita sendiri. Jangan sampai diplomasi menjadi pintu masuk pengikisan kedaulatan.

Penutup

Di balik angka investasi dan janji infrastruktur, kita harus menatap laut dengan jernih. Siapa yang paling beruntung, dan siapa yang paling merugi? Apakah nelayan kecil akan makin sejahtera, atau justru terpinggirkan? Apakah Indonesia akan makin kuat, atau makin bergantung?

Laut adalah masa depan kita. Setiap pengambilan keputusan harus dengan kesadaran penuh, bahwa sekali kedaulatan tergadaikan, sulit untuk merebutnya kembali. Maka, perjanjian maritim apa pun, dengan Tiongkok atau negara lain, harus selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya.