Oleh : M. Abdullah Al-Hasan
Palestina merupakan salah satu wilayah yang selalu menjadi sorotan dunia. Letaknya di persimpangan Asia, Afrika, dan Eropa menjadikannya strategis sekaligus rawan konflik. Namun, di balik hiruk-pikuk politik dan militer, Palestina menyimpan warisan budaya Arab yang begitu kaya, identitas Islam yang kuat, serta tradisi panjang yang membentuk jati diri bangsanya.
Secara geografis, Palestina berada di kawasan Asia Barat, berbatasan dengan Lebanon di utara, Yordania di timur, Mesir di selatan, dan Laut Tengah di barat. Lokasi ini membuatnya menjadi jalur perdagangan, pusat lahirnya agama samawi, sekaligus pintu masuk ekspedisi dari berbagai peradaban besar sejak ribuan tahun lalu.
Dengan luas wilayah yang relatif kecil, Palestina memegang peranan penting dalam sejarah dunia. Kota suci Yerusalem, misalnya, tidak hanya penting bagi umat Islam, tetapi juga bagi Kristen dan Yahudi. Hal inilah yang menjadikan Palestina sebagai ruang spiritual sekaligus geopolitik yang terus diperebutkan.
Demografi dan Diaspora Palestina
Jumlah penduduk Palestina pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 5,6 juta jiwa yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun secara global, populasi orang Palestina mencapai sekitar 14 juta jiwa, sebagian besar hidup dalam diaspora akibat konflik panjang.
Menariknya, struktur usia masyarakat Palestina relatif muda, dengan lebih dari sepertiga berusia di bawah 15 tahun. Hal ini menunjukkan tingginya angka kelahiran dan sekaligus menjadi simbol harapan akan keberlanjutan perjuangan bangsa mereka.
Namun, kenyataan pahit juga harus dihadapi. Jutaan warga Palestina masih hidup sebagai pengungsi di berbagai negara, terutama Yordania, Lebanon, dan Suriah. Kondisi ini menjadikan isu demografi bukan sekadar angka, melainkan bagian dari identitas dan perjuangan hak kembali (right of return) yang hingga kini masih diperjuangkan.
Palestina memiliki budaya Arab yang unik. Bahasa Arab Palestina, bagian dari dialek Levant, menjadi bahasa utama masyarakat. Identitas bangsa mereka tercermin melalui bahasa, simbol-simbol tradisional, hingga kesenian. Kufiyah hitam-putih, tarian dabke, dan thobe bordir khas wanita Palestina adalah contoh nyata bagaimana budaya menjadi bagian dari perlawanan dan simbol persatuan.
Selain itu, musik rakyat, sastra lisan berupa puisi zajal, serta kuliner khas seperti maqluba dan musakhan, menggambarkan kekayaan budaya yang lahir dari tanah subur Palestina. Semua ini memperlihatkan bahwa meski didera konflik, budaya tetap bertahan sebagai pengikat identitas nasional.
Sejarawan Palestina-Amerika Rashid Khalidi menegaskan: “Kebudayaan Arab Palestina adalah bukti nyata bahwa identitas bisa bertahan melintasi pengasingan, perang, dan diaspora.”
Palestina sebagai Kota Suci Tiga Agama dan Dinamikanya
Islam menjadi agama mayoritas di Palestina, diikuti minoritas Kristen serta sedikit komunitas agama lain. Masjid Al-Aqsa di Yerusalem merupakan salah satu pusat spiritual umat Islam sedunia. Selain itu, ada pula Gereja Makam Kudus yang suci bagi umat Kristen, serta Makam Nabi Ibrahim yang dihormati oleh tiga agama samawi.
Dengan keberadaan tempat-tempat suci ini, Palestina bukan sekadar wilayah politik, melainkan juga pusat spiritual dunia. Islam di Palestina tidak hanya menjadi keyakinan, tetapi juga fondasi kehidupan sosial, hukum, dan identitas kolektif bangsa.
Sejarah Palestina tidak bisa dilepaskan dari konflik berkepanjangan akibat pendudukan Israel sejak 1967. Pengungsian massal, blokade di Gaza, hingga perpecahan politik antara Fatah dan Hamas semakin memperumit keadaan.
Namun, di tengah krisis, budaya dan agama justru menjadi simbol perlawanan. Kufiyah bukan hanya kain penutup kepala, tetapi lambang perjuangan. Begitu pula dengan tarian dabke dan puisi rakyat yang memupuk semangat ketahanan (sumud). Inilah yang menjadikan identitas Palestina semakin kokoh meski ditekan oleh situasi politik yang keras.
Penyair besar Palestina, Mahmoud Darwish, pernah berkata: “Identitas kami adalah apa yang masih tersisa ketika semuanya dirampas: tanah, rumah, dan kebebasan.”
Melihat keberadaan etnis Arab di Palestina sebagai fakta sejarah yang tak bisa dibantah. Palestina adalah tanah Arab, dihuni oleh bangsa yang sejak lama menjadikan bahasa Arab, Islam, dan tradisi Levant sebagai identitas mereka. Kenyataan bahwa etnis Arab Palestina masih bertahan meski terusir, terpecah, dan hidup dalam tekanan, menunjukkan bahwa identitas bukan sekadar tentang wilayah fisik, melainkan tentang ingatan kolektif, tradisi, dan kesadaran sejarah.
Intelektual Palestina Edward Said pernah menegaskan: “Palestina bukan hanya soal tanah, tetapi tentang eksistensi sebuah bangsa yang menolak dilenyapkan dari sejarah.” Kalimat ini mencerminkan kenyataan bahwa Palestina adalah bukti nyata kekuatan sebuah identitas yang berakar pada bahasa, agama, dan budaya.
Palestina bukan hanya konflik, bukan pula sekadar sengketa tanah. Ia adalah pusat spiritual, rumah bagi peradaban, dan simbol perjuangan sebuah bangsa Arab yang berakar dalam budaya dan Islam.
Budaya Arab Palestina, mulai dari bahasa, tarian, hingga kuliner, membuktikan bahwa identitas bisa bertahan bahkan di tengah keterpurukan. Dan Islam di Palestina bukan sekadar agama, melainkan fondasi perjuangan yang terus menyala.
Dengan demikian, memahami Palestina berarti memahami wajah lain dunia Arab—wajah yang menampilkan ketahanan, kebudayaan, dan spiritualitas yang menyatu dalam sejarah panjang peradaban manusia.***
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Program Studi Humaniora
Tinggalkan Balasan