Pendahuluan
Setahun telah berlalu sejak agresi Israel di Gaza mencapai puncaknya. Perang telah meninggalkan luka mendalam dan menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan yang belum datang. Konflik kekerasan melanda wilayah terus-menerus ini tampak menjadi simbol dari ketidakadilan global yang belum terselesaikan. Dengan ribuan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang begitu besar. Rasanya sulit membayangkan bahwa Gaza masih bertahan di bawah tekanan blokade dan serangan yang terus berlanjut.
Inti dari persoalan ini adalah bahwa agresi tersebut bukan hanya persoalan politik atau militer semata. Hal tersebut sebagai tragedi kemanusiaan yang menantang hati nurani dunia. Masyarakat internasional, termasuk lembaga-lembaga multilateral seperti PBB, tampak tak berdaya menghadapi kekuatan politik yang besar. PBB terkesan mengorbankan rakyat Palestina untuk kepentingan geopolitik. Pengumuman gencatan senjata tampak hanya menjadi penangguhan sementara, upaya perdamaian seperti janji-janji kosong yang tak kunjung terwujud.
Keadilan yang tak terlihat ini sebenarnya berakar pada ketidakmampuan dunia menempatkan nilai kehidupan di Palestina setara dengan negara lain. Ketika serangan terjadi di negara-negara Barat, dunia segera merespons dengan simpati dan tindakan nyata. Namun, saat anak-anak dan perempuan menjadi korban di Gaza, narasi yang muncul selalu terjebak dalam label “teroris” dan “milisi”. Tanpa sadar, hal ini mereduksi penderitaan warga sipil menjadi sekadar efek dari konflik bersenjata.
Israel, sebagai salah satu kekuatan militer terbesar di kawasan, beralasan bahwa tindakan militernya adalah bentuk pertahanan diri dari kelompok bersenjata di Gaza. Namun, pertanyaan moral muncul: sampai di mana batas “pertahanan diri” jika yang menjadi korban terbesar adalah warga sipil tak bersenjata? Tidak ada pembenaran penggunaan kekuatan berlebihan dan penghancuran fasilitas publik seperti sekolah dan rumah sakit dengan alasan apapun. Keadilan sejati tidak mungkin tercapai tanpa akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia selama konflik tersebut.
Konflik
Dalam skala yang lebih besar, masalah ini juga mencerminkan warga Palestina mengalami ketidakadilan sistemik selama bertahun-tahun. Blokade ekonomi dan pembatasan kebebasan bergerak di Gaza, serta aneksasi wilayah di Tepi Barat, merupakan bagian dari sistem yang memperkuat ketimpangan kekuasaan. Dunia tampak menutup mata terhadap penderitaan kolektif ini, dan kegagalan komunitas internasional untuk menegakkan solusi yang adil bagi Palestina menjadi bukti kelemahan hukum internasional.
Namun, harapan tetap ada. Meskipun keadilan tampak tak terlihat saat ini, bukan berarti itu mustahil untuk dicapai. Kesadaran global terus meningkat, terutama di kalangan masyarakat sipil yang memahami bahwa perdamaian sejati hanya bisa terwujud dengan mengakhiri pendudukan, menghentikan blokade, dan menciptakan ruang untuk koeksistensi yang adil. Generasi baru aktivis dan pemimpin tidak boleh abai untuk terus bergerak menuntut keadilan.
Pada akhirnya, keadilan tidak akan datang dengan sendirinya. Perjuangan dan penegakan keadilan perlu mendapat dukungan dari suara kolektif yang lebih kuat daripada kekuatan politik yang selama ini mempertahankan status quo. Setahun setelah agresi Israel di Gaza, kita menghadapi realitas bahwa keadilan masih belum terlihat, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mewujudkannya.
Walaupun keadilan masih terasa jauh dari jangkauan, bukan berarti kita harus menyerah pada sikap apatis. Tindakan nyata sangat mendesak untuk memastikan bahwa penderitaan rakyat Palestina tidak sekadar menjadi angka dalam statistik yang terlupakan. Komunitas internasional harus memperkuat upaya diplomasi yang tidak hanya berfokus pada kepentingan politik, tetapi juga mengedepankan hak asasi manusia. Penghentian blokade yang mencekik Gaza perlu terwujud, bukan semata mempermudah akses bantuan kemanusiaan, tetapi juga untuk mengembalikan martabat warga Gaza yang telah terampas.
Harapan
Selain itu, dunia internasional perlu meningkatkan tekanan terhadap Israel agar menghentikan kebijakan-kebijakan yang memperburuk keadaan. Sanksi ekonomi dan diplomatik terhadap Israel bisa menjadi salah satu cara efektif untuk mendorong perubahan dalam pendekatan mereka terhadap Palestina. Kampanye boikot terhadap produk atau perusahaan yang terkait dengan pendudukan juga merupakan bentuk solidaritas global yang bisa efektif. Kampanye boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) yang didukung oleh berbagai kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia menunjukkan bahwa solidaritas internasional dapat memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang selama ini kebal dari kritik.
Di samping itu, media internasional harus memainkan peran lebih besar dalam menyajikan fakta di lapangan. Sejauh ini, narasi konflik sering dikendalikan oleh wacana yang dikuasai oleh kekuatan besar. Agar keadilan dapat terwujud, sudut pandang rakyat Palestina harus lebih sering diangkat dan menjadi bagian dari percakapan global. Kehadiran media alternatif dan jurnalisme warga bisa menjadi penghubung penting untuk menyoroti aspek kemanusiaan yang sering terabaikan.
Pada tingkat akar rumput, solidaritas global sangatlah penting. Aksi protes damai di berbagai penjuru dunia harus terus berlanjut, mendesak para pemimpin politik untuk tidak lagi tunduk pada lobi-lobi kekuasaan yang melanggengkan ketidakadilan. Meski keadilan belum sepenuhnya terlihat saat ini, setiap langkah kecil, setiap aksi, dan setiap suara yang memperjuangkan kebenaran adalah fondasi untuk membangun masa depan yang lebih adil bagi Palestina.
Tinggalkan Balasan