Terasing

Terasing
Sumber Foto : WhatsApp-Image-2024-02-28-at-12.28.27-1

Saat berbaris untuk apel pembukaan, aku merasa seperti berada di antara lautan siswa yang tampaknya semua sudah memiliki teman akrab. Aku berdiri di samping seorang anak yang juga terlihat sendirian seperti aku. Pandangan siswa-siswa lain yang menatapku dengan rasa ingin tahu membuatku semakin merasa tak nyaman. Aku merasakan tekanan dari perhatian yang tercurah padaku, membuatku merasa semakin terpapar dan terisolasi.

Pakaianku yang berbeda dari kebanyakan siswa lain menjadi sorotan. Dengan jilbab —lumayan— panjang yang kusut karena aku terbiasa mengenakannya selama aku di pondok pesantren, aku menjadi pusat perhatian banyak orang. Tatapan-tatapan penasaran dan bisikan-bisikan yang terdengar di sekelilingku membuatku merasa seperti objek penelitian, seolah-olah aku adalah makhluk asing yang baru saja mendarat di sekolah ini.

Meskipun berusaha tetap tenang dan berusaha mengabaikan tatapan-tatapan itu, tapi rasa tak nyaman terus menyelinap ke dalam diriku. Aku merasa seperti aku tidak punya tempat di antara mereka. Tetapi di sisi lain, melihat anak di sebelahku yang juga tampaknya merasa sendirian, aku merasa sedikit lega. Mungkin kami berdua bisa menjadi dukungan satu sama lain di tengah-tengah keramaian yang terasa begitu menekan. Meskipun lingkungan ini terasa asing dan menakutkan, tapi aku berharap bahwa dengan sedikit waktu dan usaha, kami berdua bisa menemukan kedamaian dan kenyamanan di sekolah ini.

Jilbab panjang dan masker yang kukenakan karena flu, membuatku semakin mencolok di antara keramaian. Aku mendengar bisikan-bisikan di sekelilingku, komentar yang mencapku sebagai “sok alim” atau “culun”. Rasanya seperti aku dihakimi. Bisikan-bisikan itu menusuk hatiku, rasanya tidak adil bahwa aku diejek hanya karena pilihan berpakaianku dan keputusan untuk menjaga kesehatanku dengan memakai masker. Aku merasa seperti aku menjadi sasaran empuk untuk ejekan dan cemoohan teman-teman sebaya.

Tetapi meskipun terluka oleh kata-kata mereka, aku mencoba untuk tidak membiarkan celaan mereka menghancurkan kepercayaan diriku. Aku bertahan teguh pada prinsipku dan meyakini bahwa aku memiliki hak untuk memilih cara berpakaianku dan menjaga kesehatanku tanpa harus diperlakukan dengan tidak hormat. Dalam kegelapan emosi itu, aku mencoba mencari kekuatan dalam kesendirianku.

Namun, dalam kegelisahan itu, ada satu cahaya kecil yang muncul. Seorang anak bernama Teressa, yang awalnya terlihat berbeda dari aku, karena anaknya blak-blakan. Meskipun awalnya aku merasa takut, aku akhirnya mengajaknya berkenalan. Dan, melewati tembok kecanggungan yang memisahkan kami, kami mulai berbicara. Meskipun terdapat perbedaan sifat yang mencolok di antara kami, aku merasa tertarik dengan kepribadiannya yang berani. Teressa tidak takut untuk menjadi dirinya sendiri, dan kejujurannya menarik perhatianku. Dalam percakapan kami, aku merasa seperti aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut dihakimi atau dijauhi.

Perlahan-lahan, kecanggungan di antara kami mulai memudar, kami berbagi cerita, tawa, dan impian kami satu sama lain, merasakan ikatan yang tumbuh di antara kami. Meskipun awalnya kami tampak begitu berbeda, tapi seiring waktu, aku menyadari bahwa kami memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Yang tak terduga, keesokan harinya, aku mendengar orang-orang memanggilku “Teressa”. Awalnya, aku bingung, tapi ternyata mereka menyebutku dengan nama Teressa karena mereka menganggap kami mirip satu sama lain. Itu adalah kejutan besar bagiku. Meskipun awalnya aku merasa kesepian dan terasing, kini aku merasa ada yang menghubungkan aku dengan lingkungan baruku.

Mendengar panggilan itu membuatku tersenyum, dan aku merasa hangat di dalam hati. Meskipun hanya sebuah nama, tapi itu menjadi tanda bahwa aku diterima di antara mereka, bahwa aku tidak akan lagi merasa sendirian. Perasaan kesepian yang menghantui hari-hariku mulai memudar, digantikan oleh  kehangatan karena akhirnya aku —merasa— memiliki tempat di sekolah ini. Perlahan-lahan, aku mulai merasa lebih nyaman dalam lingkungan baru ini. Aku menemukan teman-teman baru yang menerimaku, tanpa menghakimi atau mengejekku karena perbedaan yang ada. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan mendapatkan pengalaman baru yang berharga.

Namun, rasa kesepian itu kembali menyelimuti diriku setelah Teressa mulai dekat dengan teman yang lain. Meskipun awalnya aku merasa lega memiliki teman, namun seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin terasingkan karena perhatian Teressa terbagi dengan yang lain. Mereka mulai membicarakan topik-topik yang tidak aku ketahui, dan perbincangan mereka menjadi semakin hangat di kelas. Saat melihat Teressa menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman barunya, aku merasa seperti tersingjirkan. Rasa iri dan kesepian kembali menyelimuti hatiku, membuatku merasa semakin terisolasi di tengah-tengah keramaian sekolah. Aku bertanya-tanya apa yang salah dengan diriku, mengapa aku tidak bisa menjadi bagian dari lingkaran pertemanan mereka seperti sebelumnya.

Setiap kali mereka tertawa dan berbicara dengan semangat, aku merasa semakin jauh terpisah dari mereka. Topik-topik yang mereka diskusikan terasa begitu asing bagiku, dan aku merasa tidak punya tempat di dalam percakapan mereka.  Rasanya seperti aku kembali ke titik awal, di mana aku merasa sendirian dan terasing di lingkungan yang baru. Aku bertanya-tanya apakah aku akan menemukan tempatku di sekolah ini, atau apakah aku akan terus merasa terpinggirkan dan tidak diakui oleh ang lain.

Aku mencoba masuk ke dalam obrolan mereka, mencari celah untuk ikut berpartisipasi. Namun, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti aku hanya menemui tembok. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dan aku hanya bisa diam di pojokan kelas, menatap mereka dengan rasa iri yang mendalam. Setiap usaha untuk bergabung di percakapan mereka terasa sia-sia. Kata-kata yang mereka ucapkan terasa seperti bahasa asing bagiku.

Melihat mereka tertawa dan berbicara dengan semangat semakin membuatku merasa terpinggirkan. Aku merasa seperti aku tidak punya tempat di antara mereka, dan perasaan iri yang mendalam terus menggerogoti hatiku. Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak bisa menjadi seperti mereka, mengapa aku harus merasa terasingkan di lingkungan ini.

Dalam keputusasaan yang mendalam, aku merasa semakin terperangkap di dalam lingkaran kesendirianku. Aku merasa terjebak dalam kehampaan yang tak terucapkan, tanpa harapan untuk merasakan kehangatan dan kebersamaan yang aku rindukan dengan teman teman lamaku.

Setiap kali mereka tertawa dan bercanda, aku hanya bisa ikut tertawa tanpa benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Aku merasa seperti seorang penonton di antara mereka yang sedang menikmati pertunjukan yang luar biasa, tapi aku tidak bisa benar-benar menjadi bagian dari mereka. Tertawa bersama mereka adalah cara bagiku untuk berusaha menyatu, meskipun hanya sebentar. Meskipun aku tidak sepenuhnya memahami humor atau konteksnya, tapi aku berharap bahwa dengan ikut tersenyum dan tertawa, setidaknya aku bisa terlihat sebagai bagian dari kelompok itu.

Namun, di balik senyum palsu dan tawa yang terpaksa, hatiku merasa hampa dan kesepian, aku mengamati kebahagiaan mereka dari kejauhan tanpa bisa merasakannya sendiri. Aku ingin sekali menjadi bagian dari kehangatan dan kebersamaan yang mereka miliki, tapi rasanya semakin sulit untuk menembus tembok yang memisahkan aku dari mereka. Aku berusaha untuk tetap tegar dan berharap bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan cara untuk diakui oleh yang lain.

Setiap hari terasa seperti perjuangan untuk menemukan semangat dan motivasi. Aku berusaha menjauhkan diriku dari perasaan negatif itu, tetapi sulit untuk melawan gelombang kesepian yang terus menghantui pikiranku. Aku merindukan seseorang yang bisa mendengarkan ceritaku, yang bisa mengerti dan mendukungku dalam setiap langkahku. Tetapi setiap kali aku mencoba untuk mencari teman, rasanya seperti aku bertabrakan dengan dinding yang tak terlihat yang memisahkan aku dari yang lain. Kesulitan untuk menemukan hubungan yang berarti membuatku semakin terjebak dalam lingkaran kesepian yang menyedihkan.

Aku merindukan kehangatan dan kebersamaan yang telah lama aku tinggalkan. Aku berharap ada cahaya di ujung terowongan, bahwa suatu hari nanti aku akan menemukan teman sejati yang akan mendampingiku melalui kesulitan ini. Aku merasa seperti tidak punya tempat di sekolah ini, seperti aku hanyalah seorang asing di tengah keramaian yang ramai. Aku mencoba bertahan, tapi semakin hari, rasanya semakin sulit untuk menyembunyikan perasaan kesepian dan keputusasaanku. Aku menginginkan koneksi dan kebersamaan yang begitu aku butuhkan, tapi rasanya semakin jauh dari jangkauanku.

 

Syifa Sahla Setiawan

Siswi SMAN 41 Jakarta