Komputerku masih menyala, menemani aku mengerjakan tugas dari sekolah tempat aku mengajar, yang sedang aku geluti selama hampir 15 tahun lamanya. Tiba-tiba what’sApp aku berbunyi, ternyata Ida teman SMAku mengajak untuk berkumpul di sebuah café. Jujur aku paling enggan dengan acara berkumpul untuk reuni bersama mereka. Tetapi Ida dan teman-temanku sedikit memaksa, alasannya mereka ingin teman-teman satu angkatan dapat kumpul bersama.
Pada akhirnya aku ikuti kemauan mereka, meskipun dengan langkah yang berat. Kita semua adalah kumpulan orang-orang yang sudah berada di ambang usia setengah abad, sudah tentu wajah-wajah maupun fisik sudah banyak sekali perubahan. Keriput disana-sini, uban tumbuh sudah tak terhitung lagi, bahkan tubuh yang dulu langsing atau atletis sudah tidak berbekas sama sekali.
Tibalah kita disebuah café yang cukup luas untuk menampung puluhan orang peserta reuni. Terdengar alunan lagu pop yang masih anyar terdengar tetapi tidak dengan volume yang tinggi. Aku lihat mereka berusaha terlihat muda dengan gaya berpakaian yang santai, yaitu celana jeans dan kemeja putih. Terlihat saat itu, baik pria maupun wanita sibuk ngobrol ngalor-ngidul dengan tangan mencapit sebatang rokok.
“Inget nggak kita dulu kan pernah pacaran, tapi sembunyi-sembunyi.”
“Gue dulu pernah naksir elo, tapi hanya bisa simpen di hati aja.”
“Elo sekarang udah punya mobil apa?”
Percakapan-percakapan itu mulai terdengar, aku sudah mulai ketar ketir ketika rasa ingin tau teman-temanku sudah mulai muncul. Inilah momen yang ingin membuat aku bangkit dari duduk dan berlari meninggalkan acara ini. Aku ingin menjauhi mereka perlahan, tetapi aku merasa terlalu terburu-buru untuk beranjak. Biarlah aku coba bertahan dulu, duduk manis menyimak dan memperhatikan perbincangan dan sikap teman-temanku.
Satu persatu mereka mulai bercerita tentang kegiatan mereka saat ini, ada yang bersikap pamer atas kesuksesan karirnya, ada yang berbangga diri terhadap karir anak-anaknya, dan lain sebagainya. Semua itu bukan hal yang bermanfaat untuk aku dengar atau mungkin teman lainnya yang nasibnya tidak seberuntung mereka. Hingga akhirnya pertanyaan yang aku ingin hindari mulai menyerang aku hingga semua telinga siap untuk mendengarkan.
“Tika, gimana kabar suami elo?” tanya Ratih sambil menghirup rokoknya yang tinggal separuh. Inilah pertanyaan yang enggan aku jawab, sengaja aku penuhi mulut aku dengan combro yang ada dimeja, agar aku menjawab lebih lama dan mereka bosan menunggu jawaban dari aku. Hingga akhirnya combro itu habis dan aku siap untuk menjawab, meskipun sambil mengkibas-kibaskan lidah aku yang kepedasan.
“Alhamdulillah baik, semua panca inderanya masih komplit,” sahut aku sambil asik merasakan pedasnya combro. Mereka tertawa mendengar candaan aku, sehingga suasananya mencair tidak seperti sebuah sidang skripsi.
Sudah saatnya aku beranjak dari tempat dudukku yang terasa seperti bara api, perlahan-lahan aku geser bangkuku dan siap meninggalkan mereka.
“Man teman, sorry ya gue duluan pulang, anak gue belum makan malem, makasih ya untuk pertemuannya hari ini,” aku melambaikan tanganku ke arah mereka sambil mundur perlahan. Tidak lama kemudian terdengar suara-suara protes dari mereka karena aku pamit mendadak.
“Ahhh…. curang Tika, belum cerita banyak sama kita-kita udah kabur,” gerutu mereka, aku sudah tidak peduli lagi.
Aku berjalan kaki menyusuri jalan, meninggalkan teman-temanku yang masih belum bisa beranjak dari masa lampau. Aku berusaha menahan air mataku yang perlahan-lahan menetes. Mulai muncul memori setahun lalu tentang perselingkuhan mantan suamiku dengan teman SMA nya dulu yang berawal dari sebuah reuni, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan meninggalkan aku bersama Dina putri semata wayang kami.
Aku bukanlah seorang introvert atau anti sosial, tetapi ketika kegiatan reuni yang hanya menjadi celah perselingkuhan atau ajang pamer semata, aku rasa meninggalkannya itu lebih baik. Terbayang sudah bagaimana mantan suamiku berkegiatan di dalam reuni, pertemuan-pertemuan yang membuka kembali perasaan masa lalu dan seolah hal itu menjadi hutang yang harus ditebus.
Tidak terasa, rumahku sudah di depan mata. Dina putriku sedang berdiri menunggu aku pulang, ia menyambutku dengan senyumnya, membuat hilang tekanan yang ada di dadaku. Dina adalah masa depan yang harus aku jalani bersamanya dengan kondisi apapun.
Tinggalkan Balasan