Paradigma Penghamba Kemewahan

Foto oleh Pixels-Pixabay

Paradigma Penghamba Kemewahan

 

Saat ini, dengan jaman atau kondisi berbeda, seorang pembantu rumah tangga yang relatif tidak mampu secara ekonomi harus bersinggungan dengan kemewahan. Saat majikan menyalakan mesin AC, gemerlap lampu penerangan, daging ayam, sosis, si pembantu juga turut berkelindan dengan sesuatu yang awalnya dianggap mewah. Intinya, segala sesuatu yang dianggap biasa atau tidak biasa, seiring perubahan waktu dianggap sebuah kemewahan.

Budaya kemewahan ini hampir menjalar ke seluruh sendi kehidupan, mulai dari orang-orang yang paling “taat” hingga “terpaksa” membayar pajak. Fenomena ini terus berlangsung berabad-abad sampai ke negeri kita. Bahkan, sekarang hedon alias pamer kemewahan sudah menjamur kemana-mana. Gerakan anti hedon pun merebak, hingga puncaknya Bu Menteri Sri Mulyani membubarkan paksa komunitas moge (motor gede) yang dibentuk bawahannya sendiri, karena dianggap tidak sensitif dengan kondisi masyarakat yang sedang susah.

Ketika Anda mendatangi sebuah restoran, pramusaji tidak pernah lupa menyodorkan buah atau sayur asparagus sebelum pesanan datang. Buah atau sayur tersebut meski disodorkan awal biasanya baru disantap setelah menu utama selesai dilahap. Karenanya, makanan semacam itu biasanya disebut sebagai makanan penutup, dan disajikan di awal berperan sebagai penggugah selera makan.

Kemewahan dan kemerosotan

Sesungguhnya ketika Anda mendefinisikan makanan penutup sebagai sesuatu yang menggugah selera, orang-orang Romawi dulu menyebutnya sebagai kemunduran atau romans of the decadence. Mengapa begitu? Karena masyarakat Romawi menganggap kemewahan bukan tradisinya, kesederhanaan sejatinya yang mereka miliki. Namun, itu semua hancur oleh masuknya budaya kemewahan dari Timur, seperti wewangian, rempah-rempah, permata, gading dan perbudakan.

Melihat negerinya hancur dilindas kemewahan, kekaisaran Romawi bertindak gercep melarang aparatnya mengenakan pakaian dan perhiasan mahal, perjamuan makan megah serta pemakaman mewah. Sang kaisar merasa perlu bertindak seperti itu setelah melihat rakyat yang dipimpinnya banyak membelanjakan uangnya untuk berfoya-foya. Rakyatnya senang melahap unggas-unggasan, burung merak, tiram, babi hutan serta burung sikatan yang dimakan utuh meskipun dilarang oleh hukum kekaisaran.

Beautifikasi perbudaan juga terjadi pada kekaisaran Romawi saat itu. Pembantu rumah tangga yang secara fisik buruk rupa tidak laku, dan memilih mempercantik budak pria sesuai kebangsaan, ukuran tubuh, warna rambut, meskipun hanya sebagai penyaji minuman. Kemewahan perbudaan ini berlangsung hingga abad ke-19, prinsip mereka dengan memiliki pelayan laki-laki berukuran badan serupa dianggap sebuah kemewahan.

Kemewahan dan penderitaan

Bagi orang Amerika, uang tidak terlalu berharga untuk dibelanjakan daripada dihasilkan. Uang bukan simbol kemewahan dibanding kesuksesan atau memilih korupsi dibanding kebaikan. Orang-orang Amerika pandai menghasilkan uang, tapi untuk membelanjakannya mereka butuh orang-orang Eropa.

Aristokrat Inggris memilih menikahi orang Amerika untuk menikmati kekayaannya. Sejak saat itu setengah peredaran uang dunia mengalir melalui London. Wanita-wanita Amerika menginvestasikan banyak uang untuk membangun rumah-rumah mewah. Kehadiran kemewahan Putri Mahkota Amerika ke Inggris saat itu bersamaan dengan demo buruh “The Great Unrest 1912” yang menuntut pajak kematian serta kenaikan pajak pemasukan.

Adalah Etiente Siluet, seorang Menteri Keuangan Prancis tega memajaki rakyatnya untuk memperkaya negara serta pundi-pundi pribadinya. Saat itu, Rakyat Prancis sedang menderita karena menanggung tingginya pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan. Karena jengkel, rakyat Prancis mengolok-olok menterinya dengan memasang gambar berbentuk siluet.

Wanita dan kemewahan

Sejarawan Kenneth Clark, mengisahkan bagaimana wanita-wanita kaya hadir bergelimang perhiasan. Dalam sebuah pesta besar di New York, Amerika Serikat, pada 1930, para wanita terkemuka dunia menenteng-nenteng perhiasan dan meletakkannya di atas meja perjamuan makan. Salah satu wanita terkaya di Inggris, Nyonya Greville (putri pemilik perusahaan bir asal Skotlandia) begitu menyayangi perhiasannya. Kekayaannya dapat dilacak hingga masa pemerintahan Ratu Marie Antoinette, istri Napoleon Bonaparte dari Prancis.

Ratu Inggris Elizabeth II juga seorang penyinta kemewahan mewarisi perhiasan penting milik Nyonya Greville, temannya sejak ia masih menjadi Duchess of York. Meskipun begitu, Sang Ratu tidak mau menggunakan perhiasan Cartier dan Boucheron sejak 1942 hingga 1947, karena kondisi keprihatinan Bangsa Inggris pasca menghadapi perang dunia. Tampil glamour mewah akan berisiko berseberangan dengan kesedihan rakyat pada masa itu.

Pada pesta ulang tahun Ratu Elizabeth ke-80, untuk pertama kalinya ia mengenakan perhiasan peninggalan Nyonya Greville. Saat ini, perhiasan-perhiasan tersebut menjadi milik Ratu Camilla cicit dari selir Edward VII, Nyonya Keppel. Peralihan kepemilikan perhiasan era Edwardian bak jadi cerita utuh. Total kekayaan Nyonya Grenville ditaksir senilai Rp 636,4 miliar, jumlah tersebut belum seberapa jika dibandingkan kekayaan konglomerat saat ini.

Kemewahan masa kini

Saat sekarang, bangsa kita bahkan bangsa-bangsa di dunia memiliki persamaan dalam menerjemahkan kemewahan. Kemewahan terjadi karena meningkatnya kesenjangan pendapatan antar warga dalam sebuah negara, sekilas tampak biasa-biasa saja namun jika dibiarkan akan menjadi masalah di kemudian hari. Kemewahan memang bukan penyebab kesenjangan, tapi rasanya dapat dipahami, kemewahan adalah salah satu dampak kesenjangan itu sendiri.

Ketika masyarakat berniat mencari keadilan pendapatan untuk pemerataan sosial (sebagaimana contoh masyarakat pasca perang diatas), kemewahan atau bahkan diskusi tentang kemewahan terasa padam. Coba bandingkan dengan kondisi saat ini, saat masyarakat yang satu persen dari populasi menguasai empat puluh sembilan persen kekayaan dunia, maka kemewahan semakin menonjol di permukaan. Pada akhirnya, tawarannya hanya satu yaitu pengendalian diri di setiap kondisi yang ada.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.