Donasi Kemanusiaan, antara Ikhlas dan Cemas
Berdonasi itu baik
Saat menulis artikel ini, saya ajukan pertanyaan kepada istri tentang pengalamannya ketika mengambil uang di ATM. Meskipun saat ini sudah jarang ditemui, dia merasa risih saat akan masuk ruangan disodori amplop sumbangan oleh seseorang dari pintu anjungan tunai mandiri. Namun, istri saya akan terima ketika sang kasir menanyakan kesediaan sisa dananya untuk didonasikan di kotak yang telah tersedia di meja kasir.
Sebagai manusia biasa, kami pun pernah jengkel karena tanpa konfirmasi sebelumnya, setelah keluar bill pembayaran makan malam di sebuah kedai, terdapat tambahan ongkos sosial. Mungkin, pembaca juga pernah mengalami hal serupa yang kami alami, saya berkesimpulan bahwa pelanggan dapat memendam rasa cemas terhadap potongan otomatis semacam ini. Saya setuju jika pemotongan-pemotongan tersebut datangnya langsung dari kasir, bukan permintaan bayar secara self-service.
Di penghujung tahun 2022 bencana alam melanda negeri ini, gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan terakhir erupsi Gunung Semeru di Lumajang. Sudah tradisi, seluruh komponen masyarakat bersatu-padu melakukan empati melalui berbagai penggalangan donasi kemanusiaan guna meringankan para korban dan keluarganya. Kotak-kotak donasi menyebar dari offline hingga online, pemuda-pemudi menyodorkan kotak donasi di jalan padat lalu-lintas hingga layanan kasir di toko-toko.
Namun, penting juga pembaca ketahui bahwa program kemanusiaan tersebut sebenarnya justru bisa menimbulkan kecemasan bagi para donaturnya. Sebuah riset oleh University of Tennessee di Amerika Serikat terhadap permintaan donasi otomatis oleh kasir kepada pelanggan membuktikan adanya kecemasan tersebut. Berbeda dengan anggapan pada umumnya, bahwa pelanggan merasa bahagia berdonasi saat membayar belanjaannya, faktanya justru kampanye amal membuat pembelanja merasa tidak nyaman.
Riset tersebut mewawancarai 60 pelanggan secara saat melakukan pembayaran di berbagai outlet, dan dimintai donasi oleh kasir. Meskipun sepotong-sepotong respon mereka, namun empat puluh prosen menjawab tertekan, terganggu, bahkan merasa terpaksa. Tujuh prosen merasa biasa saja, dan dua puluh prosen sisanya menerimanya dengan positif atas nama kasih sayang sesama manusia.
Konskuensi berdonasi
Pada 2020, dalam sebuah kampanye amal di Amerika Serikat berhasil mengumpulkan dana sosial sebesar US$605 juta atau setara dengan Rp 9,33 triliun, meskipun di tempat lain hanya berhasil mengumpulkan beberapa sen. Beberapa lembaga tersebut terbentuk khusus menggalang sumbangan dari pelanggan. Namun, mereka tidak menerima keuntungan finansial apapun, seperti pemotongan pajak dari hasil pengumpulan donasi kegiatan amal sekalipun.
Jasa retail dan restoran berharap para donatur merasa nyaman dalam kegiatan amal, sehingga hal ini dapat mempengaruhi masyarakat lainnya yang belum berdonasi. Namun, berbagai fenomena ketidaknyamanan dari masyarakat, hasilnya justru berkebalikan. Karenanya, atas kondisi tersebut, jasa retail dan restoran sebaiknya lebih selektif dalam berpartisipasi dalam gerakan-gerakan amal semacam itu.
Akan lebih baik, jika para pelaku bisnis menghindari gerakan amal dengan meminta donatur membayar donasinya melalui pembayaran self-service. Dan, mereka memindahkan sistem pemungutan oleh kasir secara persuasif. Rasanya, hal ini akan mengutamakan transparansi dana pelanggan, dan pihak pemilik bisnis tidak merasa dirugikan.
Di tengah carut-marutnya pengelolaan dana sosial di negeri ini, sudah semestinya lembaga-lembaga tersebut memprioritaskan transparansi pengelolaan keuangan yang dihimpun dari masyarakat. Perlu disadari, bahwa keberlangsungan usaha mereka bergantung dari peredaran dana dari masyarakat. Salah kelola, masyarakat menjadi apatis, dan lambat-laun lembaga-lembaga segera menghadapi kebangkrutan.
Donasi perlu dilindungi
Indonesia menjadi negara paling dermawan, terbukti setiap terjadi musibah yang membutuhkan pertolongan, penggalangan donasi kemanusiaan cepat didapatkan. Sumbangan masyarakat cepat terkumpul kemudian disalurkan untuk meringankan korban bencana alam. Bantuan kemanusiaan, seperti pendidikan, tempat tinggal, hingga program sosial dan kemanusiaan lainnya.
Namun, niat baik ini perlu dipertimbangkan pemilihan platform dalam menyalurkan donasi baik online maupun langsung kepada pengelola. Kewaspadaan ini penting, menyitir pernyataan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), agar hati-hati memilih pengelola dana masyarakat mengingat adanya indikasi dugaan penyelewengan penggunaan dana yang diterima dari masyarakat dan pihak lainnya.
Berbuat baik untuk meringankan kesulitan orang lain merupakan ajaran seluruh agama, meskipun begitu masyarakat tetap diminta berhati-hati dalam menentukan lembaga yang akan menyalurkan dana masyarakat. Berdasarkan pengamatan, poin-poin berikut dapat membantu kita dalam memilih pengelola penyalur sumbangan bagi masyarakat terdampak bencana sosial.
Secara rutin, Pemerintah melalui kementerian terkait merilis database berisi nama-nama pengelola dana masyarakat yang dapat diakses masyarakat. Masyarakat dapat mencari dan memilih penggalang dana yang kapabel melalui platform seperti website, media sosial, serta kanal-kanal resmi lainnya. Masyarakat dapat mengakses berbagai informasi terkait laporan keuangan, laporan pertanggungjawaban para penggalang dana secara komprehensif.
Terakhir, kita perlu mengkroscek program-program kemanusiaan yang telah dilaksanakan pengelola di sekitar kita, atau mencari informasi dari sumber yang valid. Melalui upaya ini masyarakat dapat melakukan pengecekan kebenaran program tersebut, serta dapat menanyakan lebih lanjut perihal program yang tengah digalangkan apakah telah berjalan sesuai atau tidak sesuai.
Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.
Tinggalkan Balasan